28.6.20

NOVEL CORONAVIRUS (2019-nCoV/ SARS-COV2) PENYEBAB WABAH COVID-19??

RINGKASAN

Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Novel coronavirus (2019-nCoV) adalah virus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). SARS-CoV ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS-CoV dari unta ke manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada hewan namun belum terbukti menginfeksi manusia. Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah paparan. Tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Pada kasus yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan bersin, memasak daging dan telur sampai matang. Hindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Infeksi 2019-nCoV dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome(ARDS), sepsis dan syok septik termasuk pada anak. Namun hingga saat ini, para peneliti masih mencari pengobatan dan vaksin yang tepat untuk melawan virus ini. Pengobatan yang diberikan masih berupa perawatan intensif untuk meringankan gejala-gejala yang ada. Penderita 2019-nCoV kebanyakan usia produktif hingga lansia, namun baru-baru ini ditemukan 1 pasien bayi perempuan termuda berusia 9 bulan dengan menunjukkan gejala penyakit yang sama seperti orang dewasa. 

PENDAHULUAN

Koronavirus atau coronavirus (istilah populernya: virus korona, virus corona, atau virus Corona) adalah virus dari familia Coronaviridae yang dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia (termasuk manusia).Struktur tubuh virus (virion) ini terdiri dari membran, selubung lipid bilayer (envelope), glikoprotein yang menyerupai paku (spike), genom RNA positif, dan protein nukleokapsid.2Glikoprotein koronavirus dapat berikatan dengan glikoprotein permukaan sel inang secara spesifik untuk memulai terjadinya infeksi.Koronavirus diklasifikasikan menjadi tiga golongan utama, golongan 1 dan 2 menginfeksi mamalia, mulai dari kelelawar hingga manusia, sedangkan golongan 3 hanya ditemukan pada spesies avian (burung). Infeksi virus ini dapat menimbulkan gejala penyakit yang bervariasi, mulai dari hampir tidak timbul gejala apa pun hingga gejala yang fatal dan cepat. Infeksi koronavirus dapat menyebabkan berbagai penyakit, seperti bronkitis, ensefalitis, gastroenteritis, dan hepatitis.4


Gambar 1. Struktur Mikroskopis 2019-nCoV2

 Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS-CoV). Novel coronavirus (2019- nCoV) adalah virus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS-CoV ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS-CoV dari unta ke manusia. Beberapa coronavirus yang dikenal beredar pada hewan namun belum terbukti menginfeksi manusia.5

Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah paparan. Tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Pada kasus yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.5

Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru coronavirus (novel coronavirus, 2019-nCoV). Penambahan jumlah kasus 2019-nCoV berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran ke luar wilayah Wuhan dan negara lain. Sampai dengan 26 Januari 2020, secara global 1.320 kasus konfim di 10 negara dg 41 kematian (CFR 3,1%). Rincian China 1297 kasus konfirmasi (termasuk Hongkong, Taiwan, dan Macau) dengan 41 kematian (39 kematian di Provinsi Hubei, 1 kematian di Provinsi Hebei, 1 kematian di Provinsi Heilongjiang), Jepang (3 kasus), Thailand (4 kasus), Korea Selatan (2 kasus), Vietnam (2 kasus), Singapura (3 kasus), USA (2 kasus), Nepal (1 kasus), Perancis (3 kasus), Australia (3 kasus). Diantara kasus tersebut, sudah ada beberapa tenaga kesehatan yang dilaporkan terinfeksi. Sampai dengan 24 Januari 2020, WHO melaporkan bahwa penularan dari manusia ke manusia terbatas (pada kontak keluarga) telah dikonfirmasi di sebagian besar Kota Wuhan, China dan negara lain.1,5


Gambar 2. Human Corona Virus outbreak4

Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan sebagian besar adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru-paru. Menurut hasil penyelidikan epidemiologi awal, sebagian besar kasus di Wuhan memiliki riwayat bekerja, menangani, atau pengunjung yang sering berkunjung ke Pasar Grosir Makanan Laut Huanan. Sampai saat ini, penyebab penularan masih belum diketahui secara pasti. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan bersin, memasak daging dan telur sampai matang. Hindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin.5

DETEKSI DINI PASIEN

Manajemen klinis ditujukan bagi tenaga kesehatan yang merawat pasien ISPA berat baik dewasa dan anak di rumah sakit ketika dicurigai adanya infeksi 2019-nCoV. Infeksi 2019-nCoV dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik. Deteksi dini/ manifestasi klinis akan menentukan waktu yang tepat penerapan tatalaksana dan PPI. Pasien dengan gejala ringan, rawat inap tidak diperlukan kecuali ada kekhawatiran untuk perburukan yang cepat. Deteksi 2019-nCoV sesuai dengan definisi operasional surveilans 2019- nCoV. Pertimbangkan 2019-nCoV sebagai etiologi ISPA berat. Semua pasien yang pulang ke rumah harus memeriksakan diri ke rumah sakit jika mengalami perburukan.5

DIAGNOSIS LABORATORIUM

Pasien konfirmasi 2019-nCoV dengan perbaikan klinis dapat keluar dari RS apabila hasil pemeriksaan Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dua kali berturut-turut dalam jangka minimal 2-4 hari menunjukkan hasil negatif (untuk spesimen saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah).5

Untuk meningkatkan deteksi CDC merekomendasikan: 1) Pengambilan 3 jenis spesimen dari saluran nafas bagian atas, saluran nafas bagian bawah dan serum; 2) Jika memungkinkan dilakukan pengambilan spesimen lainnya seperti urine dan feses untuk disimpan sampai diperlukan dikirim ke lab rujukan untuk pemeriksaan selanjutnya; 3) Spesimen harus diambil segera setelah pasien masuk dalam kriteria pengawasan (Patients under Investigation/PUI) tanpa melihat onset gejala; 4) Selalu perhatikan pencegahan dan pengendalian infeksi saat melakukan pengambilan spesimen.2,4,5

DAFTAR PUSTAKA
  1. World Health Organization (WHO). https://www.who.int/health-topics/coronavirus. 2020
  2. World Health Organization (WHO).Global surveillance for human infection with novel- coronavirus(2019-ncov).https://www.who.int/publications-detail/global-surveillance-for- human-infection-with-novel-coronavirus-(2019-ncov). 2020.
  3. World Health Organization (WHO). Laboratory testing for 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) in suspected human cases. https://www.who.int/publications-detail/laboratory- testing-for-2019-novel-coronavirus-in-suspected-human-cases. 2020.
  4. World Health Organization (WHO). Clinical management of severe acute Respiratory infection when novel coronavirus (nCoV) infection is suspected. https://www.who.int/internal- publications-detail/clinical-management-of-severe-acute-respiratory-infection-when-novel- coronavirus-(ncov)-infection-is-suspected. 2020.
  5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Infeksi. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta. 2020. 

17.9.16

METODE MOLEKULER DALAM ENTOMOLOGI FORENSIK


Entomologi forensik adalah multidisplin ilmu mengumpulkan dan menganalisa bukti serangga untuk membantu dalam penyelidikan forensik. Aplikasi utamanya adalah dalam penentuan waktu kematian dalam kasus-kasus kematian yang mencurigakan, baik dengan memperkirakan oviposisi serangga, atau dengan menganalisis komposisi spesies serangga pada mayat. Selain itu, data serangga dapat digunakan untuk membantu mengungkap penyebab kematian atau bahkan identitas korban (Amendt et al., 2011). Selain penentuan waktu kematian yang lebih akurat, data molekuler serangga juga dapat dimanfaatkan untuk menganalisa materi genetik manusia yang ada di dalam tubuh serangga, terutama pada fase larva yang masih belum memiliki aktivitas nuklease. Pada makalah ini akan dibahas mengenai pemanfaatan metode molekuler dalam entomologi forensik terutama dalam penentuan spesies, analisis DNA manusia dalam larva serangga dan studi ekspresi gen.

A. PENENTUAN SPESIES BERDASARKAN IDENTIFIKASI MOLEKULER SERANGGA

Identifikasi spesies serangga berdasarkan morfologi merupakan studi yang telah dilakukan sejak lama. Saat ini telah banyak buku entomologi berisi kunci determiasi untuk identifikasi suatu spesies serangga. Seiring dengan perubahan lingkungan, beberapa serangga mengalami beberapa adaptasi morfologi sehingga terdapat beberapa spesies serangga yang sulit dibedakan secara morfologi. Fase serangga yang banyak ditemukan pada mayat adalah berupa larva dan pupa. Kedua bentuk tersebut meskipun memiliki keunikan morfologi antar satu spesies dengan spesies lain tetapi masih sulit dibedakan bagi pengamat pemula. Di sisi lain keberadaan ahli serangga cukup terbatas. Hal tersebut menjadi hambatan bagi keakuratan penentuan kematian serangga. Dengan penemuan metode identifikasi spesies berbasis molekuler, kesulitan tersebut di atas diharapkan dapat diatasi. Berikut ini adalah ringkasan beberapa artikel penelitian mengenai pemanfaatan identifikasi serangga berbasis molekuler, terutama menggunakan teknologi DNA barcoding berbasis DNA mitokondria.

1. Molecular Identification of Carrion-Breeding Scuttle Flies (Diptera: Phoridae) using COI barcodes

DNA Mitokondria memiliki kelimpahan di sel dan bersifat haploid karena hanya diturunkan dari induk maternal, sehingga sering digunakan dalam identifikasi molekular, dengan marker gen utamanya COI (Cytochrom Oxidase I), berupa fragmen DNA sepanjang 658 bp dengan tingkat variasi tinggi. Prosedur sekuensis nya adalah (1) ekstraksi DNA menggunakan metoda ekstraksi fenol-kloroform (2) amplifikasi gen COI menggunakan PCR dengan desain primer LCO1490 (5-‘GGTCAACAAATCATAAAGATATTGG) dan HCO2198 (5-‘TAAACTTCAGGGTGACCAAAAAATCA (Folmer et al, 1994) (3) penetuan sekuens nukleotida berdasarkan produk PCR menggunakan kit gel-filtrated columns  dan software khusus (Bioedit). 

Pada penelitian ini dilakukan identifikasi molekuler pada kelompok serangga Scuttle flies (Phoridae. Scuttle flies merupakan  famili serangga yang cukup penting dalam bidang forensik entomologi terutama dalam kaitannya dengan penentuan Post-Mortem Interval (PMI). Dikarenakan ukurannya yang sangat kecil (dewasa:2-3 mm), serangga ini mampu mencapai lokasi yang tidak mampu dijangkau oleh jenis blowflies (Calliphoridae). Diketahui bahwa Blowflies adalah jenis serangga pertama yang mendatangi jenazah dan meletakkan telurnya pada kondisi TKP terbuka atau yang memiliki akses luas untuk didatangi. Sedangkan untuk TKP yang tertutup (aksesnya sangat terbatas), jenis blowflies tidak mampu menjangkaunya, maka famili Scuttle flies (Phoridae) dengan ukuran tubuh yang sangat kecil, memiliki akses untuk mencapai lokasi tersebut. Famili ini hidup sebagai scavenger, herbivora, dan predator, memiliki kemampuan menggali hingga ke dalam tanah bahkan menyusup kedalam peti mati jenazah sekalipun. Selain itu, Scuttle flies juga berperan dalam proses myiasis, yaitu aktivitas invasi larva diptera pada jaringan/organ vertebrata (parasit).  
Scuttle flies aktif pada tahap awal proses pembusukan dan tahap akhir proses dekomposisi suatu jenazah, terutama genus Megaselia. Adapun spesies utama yang terlibat dalam entomologi forensik adalah Megaselia scalaris, Megaselia giraudii, Megaselia abdita, Megaselia rufipes, dan Conicera tibialis. Sedangkan Puliciphora borinquenensis merupakan kandidat spesies yang masih dipelajari dalam kaitannya dengan entomologi forensik. Dikarenakan ukuran dan kemiripannya, spesies-spesies dalam famili ini sangat sulit dibedakan secara morfologi, oleh karena itu identifikasi molekular menggunakan DNA mitokondria, sangat membantu dalam  menentukan variasi interspesifik dan intraspesifik suatu spesies untuk melengkapi data panduan dalam penentuan PMI suatu jenazah. Dari identifikasi molecular tersebut, diperoleh hasil bahwa family Phoridae memiliki variasi interspesifik dan intraspesifik yang cukup beragam, analisis DNA juga menunjukkan adanya kesamaan haplotype antara varian satu dengan lainnya didalam satu spesies. Dari identifikasi tersebut, nantinya juga dapat ditentukan apakah jenazah tersebut mengalami kematian wajar atau tidak berdasarkan siklus hidup masing-masing serangga yang teridentifikasi.

2. Cytochrome b as a useful tool for the identification of blowflies of forensic interest (Diptera, Calliphoridae) 
Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang entomologi forensik telah banyak mengembangkan berbagai metode yang dapat memudahkan dan menghasilkan data yang tepat dan akurat. Keakuratan dan ketepatan data ini sangat berpengaruh untuk dapat menentukan Post Mortem Interval (PMI), Post Mortem Transfer, perlakuan kekerasan sebelum kematian dan ada tidaknya penggunan obat-obatan ataupun racun (GilArriortua et al., 2013; Tarone et al., 2011). Entomologi forensic ini memanfaatkan serangga-serangga yang biasa mengkolonisasi tubuh mayat manusia salah satunya untuk dapat menentukan Post Mortem Interval (PMI).  

Salah satu familia serangga yang merupakan necrophagus yang pertama kali mengkolonisasi mayat manusia yaitu Calliphoridae (GilArriortua et al., 2013; Tarone et al., 2011). Untuk dapat mengidentifikasi berbagai macam spesies serangga ini dapat dilakukan dengan cara konvensional melalui karakteristik morfologinya. Adanya kemiripan morfologi pada beberapa jenis serangga khususnya pada tahap perkembangan instar menjadi salah satu kesulitan dalam proses identifikasi (GilArriortua et al., 2013; Tarone et al., 2011). Perkembangan identifikasi secara molekuler ini dapat memberikan hasil identifikasi serangga yang lebih tepat pada setiap tahapan perkembangan serangga. 

Penggunaan DNA mitokondria merupakan salah satu metode molecular dalam mengidentifikasi spesies serangga. Penggunaan DNA mitokondria digunakan karena banyak jumlah kopinya dan memiliki tingkat mutasi yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti.   Cytochrome b merupakan salah satu gen dari 37 gen yang terdapat dalam genom sirkular mitokondria yang bermanfaat dalam filogenetik (Farias et al., 2001; Caine et al., 2006). Hal tersebut dikarenakan gen ini memperlihatkan variabilitas yang terbatas dalam satu spesies dan memiliki banyak variasi antar spesies. Penggunaan cytochrome b dapat dikontribusikan dengan pengunaan cytochrome oxidase untuk menghasilkan data yang lebih komperhensif. 

Berdasarkan identifikasi molecular ini dapat dihasilkan dapat identifikasi yang lebih tepat untuk mendukung data hasil identifikasi konvensional serta pohon filogenetik. Pohon filogenetik ini dapat menjadi sumber identifikasi jika terdapat spesies baru yang terdapat dalam suatu investigasi. Berdasarkan pohon filogenetik ini kita dapat melihat kedekatan evolusi antar spesies, sehingga jika terdapat spesies baru yang terdapat dalam suatu investigasi dapat diperkirakan dengan cara melihat kedekatan evolusinya. Melalui data tersebut dapat diperkirakan kemiripan dalam siklus hidup serta tahapan perkembangannya untuk dapat memperkirakan Post Mortem Interval (PMI) dalam suatu investigasi, serta ada tidaknya Post Mortem Transfer, dan kondisi lain sebelum kematian terjadi.

B. ANALISIS DNA MANUSIA PADA LARVA SERANGGA
 
Keberadaan larva serangga nekrofagus dapat memberi keuntungan tidak hanya dalam penentuan waktu kematian (Post morterm interval). Secara tidak langsung, larva serangga nekrofagus dapat mempreservasi materi genetik dari jenazah, karena larva serangga belum memiliki enzim pemecah materi genetik (nuklease). Berikut akan diulas mengenai beberapa aplikasi metode analisis DNA manusia pada larva serangga dalam membantu memecahkan kasus entomologi forensik khususnya pada pendekatan kasus pemerkosaan dan kasus bagian tubuh yang terpisah berbasis analisis Short Tandem Repead ( STR).

1.   Stability of Prostate Specific Antigen (PSA, and Subsequent Y-STR typing, Lucilia (phaenicia) sericata (Meigen) (Diptera: Calliphoriae) Maggots Reared From A Simulated Postmortem Sexual Assault
 
Pada kasus terjadi trauma pada organ genital (vagina/anus) korban, terutama pada korban anak-anak dan remaja. Adanya trauma pada organ genital menjadi atraktan bagi blowflies untuk meletakkan telur. Telur blowfies akan berkembang menjadi larva dan memakan jaringan lunak pada vagina. Pada korban pemerkosaan dari hasil penelitian di Ohio selama 4 tahun didapatkan 48% kasus ditemukan spermatozoa pada vagina korban. DNA dari spermatozoa yang ditemukan pada korban, dapat digunakan sebagai sampel untuk penentukan pelaku dengan menggunakan metode molekuler. Mayat korban pembunuhan-pemerkosan akan mengalami dekomposisi dan sel-sel vagina akan mengeluarkan senyawa yang menghancurkan spermatozoa dan medegradasi DNA. 

Divisi Cyclorrhapha (Muscidae, Fanniidae, Calliphoridae, dan Sracphagidae) merupakan fauna yang sering ditemukan pada mayat. Pada stage larva akan memakan jaringan vagina yang mengandung spermatozoa sehingga terjadi akumulasi DNA manusia pada perut larva, untuk itu ekstraksi DNA manusia dari larva mungkin dilakukan untuk dijadikan metode dalam pemecahan kasus pembunuhan-pemerkosaan jika tidak memungkinkan untuk mengekstraksi DNA dari spermatozoa langsung. Analisis yang digunakan untuk identifikasi dengan mendeteksi adanya Prostate Spesifik Antigen (PSA) pada sampel menggunakan teknik P30 ELISA (enzyme linked immunoabsorbant essay). PSA merupakan  glycoprotein yang dikeluarkan oleh sel epitel prostat gland. Hasil uji PSA dilanjutkan dengan analisis Y-chromosomal Short Tandem Repeat (Y-STR). Y-STR spesifik ditemukan pada laki-laki dan varibel pengulangan berbeda setiap individu sehingga digunakan sebagai marker deteksi. 

Penelitian dilakukan dengan mensimulasi kejadian dengan sampel liver yang diberikan cairan semen pada jumlah yang bervariasi, kemudian diletakkan telur dari Phaenicia sericata (meigen) dan disimpan pada suhu 24oC. Setiap sampel diambil instar kedua dan dilakukan ekstraksi DNA manusia dari seluruh tubuh larva dan bagian perut larva yang diambil secara diseksi. Selain larva juga diambil sampel swab liver, postfeeding, early pupa, dan late pupa sebagai pembanding. 

Hasil menunjukkan bahwa PSA dapat dideteksi dari swab liver, larva total, dan bagian perut larva pada 48 jam inkubasi. Nilai PSA meningkat sebanding dengan jumlah cairan semen yang diberikan. Y-STR dapat dideteksi dari DNA yang diekstraksi dari perut larva dengan profil panjang Y-STR sama dengan DNA kontrol. Data penelitian ini menunjukkan bahwa ekstraksi DNA manusia dari tubuh larva dapat digunakan sebagai metode baru untuk memecahkan kasus pembunuhan-pemerkosaan. Namun data yang ditemukan menggunakan metode ini harus dihubungkan dengan kejadian spesifik kasus.

2.   MitochondriaL DNA and STR Analyses for Human Dna From Maggots Crop Contents: A Forensic Entomology Case From Central-Southern China

Larva dan serangga dewasa seringkali ditemukan pada jenazah manusia dan memberikan petunjuk penting untuk mengetahui estimasi dari interval postmortem (PMI). Diketahui dari penelitian sebelumnya bahwa penentuan usia spesimen serangga dari telur yang ditemukan pada jenazah, menjadi cara yang akurat untuk menganalisa forensik suatu kasus yang terjadi sebelum kematian. Larva biasa digunakan untuk memperkirakan periode aktivitas serangga berdasarkan spesimen serangga tertua yang ditemukan pada jenazah, sehingga dapat dikaitkan dengan waktu kematian dari jenazah tersebut.Dalam kasus tertentu, ketika larva ditemukan namun tidak ada jenazah yang ditemukan atau bagian tubuh jenazah tidak kumplit, maka keterkaitan antara kemunculan larva dengan jenazah menjadi sangat penting.Oleh sebab itu, analisis DNA baik pada serangga maupun jenazah menjadi dibutuhkan. Untuk identifikasi manusia, analisis DNA mitokondria sering digunakan karena high copy number (salinan tinggi) di dalam sel sehingga dapat digunakan ketika jaringan yang ditemukan dari jenazah dalam keadaan rusak (tidak utuh). 

Pada larva blow fly yang terdapat pada jenazah, potongan makanan dan cairan yang berasal dari jenazah disimpan sementara sebelum dicerna. Proses utama pencernaan tidak terjadi pada larva karena enzim proteolitik tidak disekresikan pada tahapan serangga ini. Hubungan yang erat antara dua orang atau tubuh manusia biasanya bergantung pada jenis yang sama disuatu lokus seperti dipelajari pada mikrosatelit, termasuk metode STR (short tandem repeat). Penelitian sebelumnya diketahui bahwa analis STR dan dua bagian pada daerah hiper-variabel  (HVI dan HVII) pada non-coding (kontrol) atau D-Loop digunakan untuk mengidentifikasi jaringan manusia, sedangkan serangga menggunakan 16S rDNA. Dalam penelitian ini, untuk menganalisis jaringan manusia digunakan metode analisis mtDNA (HVII) dan STR, sedangkan gen 16S rDNA dipilih untuk mengidentifikasi isi dari bagian tembolok/usus larva serangga. Larva dikumpulkan dari jenazah manusia yang diidentifikasi isi tembolok/usus dan menjadi sasaran analisis genetika mtDNA dan STR. 

Gambaran kasus pada penelitian ini adalah ditemukannya jenazah yang terpisah antara bagian tubuh dan kepala dengan jarak setiap bagian tubuh adalah 500 m serta tubuh telah membusuk dan sulit diidentifikasi. Untuk meyakinkan kepemilikan tubuh tersebut berasal dari 1 individu yang sama, maka dilakukanlah analisis mtDNA dan STR seperti telah disebutkan dipenjelasan sebelumnya. Metode penelitian ini terdiri dari 4 tahapan, yaitu pengumpulan sampel larva dari 2 bagian tubuh jenazah, pencucian dan diseksi larva, ekstraksi dan amplifikasi DNA dari jaringan manusia dan tubuh larva, serta analisis STR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva yang dikumpulkan dari bagian tubuh jenazah merupakan instar III dengan ukuran dari 1.1cm s.d 1.6 cm, dan pada bagian eksterior tubuh larva terlihat berwarna gelap. Hasil identifikasi baik secara morfologi maupun molekuler menunjukkan bahwa larva tersebut merupakan larva serangga Aldrichina grahami. Analisis mtDNA menunjukkan bahwa fragmen HVII berhasil diisolasi dari jaringan manusia pada tubuh I, II dan bagian tembolok/usus larva, serta hasil elektroforesis menunjukkan adanya pita yang menunjukkan fragmen HVII hasil PCR. Analisis STR dari jaringan manusia dan bagian tembolok/usus larva menunjukkan profil lengkap STR (16 lokus) untuk semua spesimen. Profil STR yang diperoleh dari jaringan manusia cocok satu sama lain dengan yang diperoleh dari tubuh larva. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa analisis mtDNA dan STR merupakan bagian dari entomologi foresik molekuler yang dapat menganalisis PMI secara cepat dan akurat. 

C. STUDI EKSPRESI GEN
 
Beberapa metode molekuler yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan metode berbasis pada analisis sekuens DNA. Selain DNA, terdapat materi genetik lain yang dapat dimanfaatkan ke depannya dalam bidang entomologi forensik, yaitu ekspresi gen pada level mRNA. DNA dijaga agar tetap stabil di dalam sel. Di dalam DNA terdapat sekuens coding maupun non coding. Studi ekspresi gen difokuskan kepada kuantifikasi ekspresi dari coding sekuens yang secara langsung menentukan fenotip termasuk morfologi makhluk hidup. Berikut akan dibahas mengenai artikel studi ekspresi gen pada serangga terkait dengan entomologi forensik.
 
1. Aging Blow Fly Eggs Using Gene Expression: A Feasibility Study
Penentuan waktu kematian dengan memanfaatkan data perkembangan serangga berbasis  morfologi telah lama dilakukan dalam entomologi forensik. Diantara beberapa jenis serangga yang paling sering dimanfaatkan dalam penentuan PMI adalah golongan Blow Flies (Diptera: Calliphoridae). Salah satu spesies Blow flies yang banyak ditemukan adalah Lucilia sericata, dimana waktu perkembangannya telah diketahui yaitu berkisar antara 2-5 hari. Akan tetapi, pada kasus tertentu perkembangan tersebut dapat tertunda beberapa hari sehingga penentuan PMI berdasarkan serangga tersebut diragukan. 

Selain data morfologi, terdapat hal lain yang juga diregulasi selama masa perkembangan, yaitu ekspresi gen. Selama ini penelitian di bidang perkembangan telah mengungkapkan beberapa gen yang aktif selama perkembangan serangga termasuk Lucilia serata. Oleh sebab itu, peneliti pada artikel penelitian ini ingin mengetahui apakah data ekspresi gen dapat dimanfaatkan untuk menentukan Post Morterm Interval dengan lebih tepat.  

Penelitian ini menggunakan Lucilia serata  yang dikumpuklan dari East Lansing Michigan dan kemudian dipelihara di dalam laboratorium dalam kandang lalat yang berisi hati. Telur yang dikumpulkan per jam dikumpulkan dan disimpan dalam RNA later kemudian diekstrasi RNAnya. Ekstraksi RNA dibagi menjadi 8 jam kelompok. Isolat RNA yang dihasilkan kemudian disintesis menjadi cDNA agar dapat dikuantifikasi dengan label Fluorescence SYBR green yang hanya akan melekat pada DNA yang memiliki ikatan rangkap. Sebelumnya peneliti juga melakukan Dnase treatment untuk mendegradasi DNA genom agar tidak terukur, sehingga yang terukur benar-benar hanya mRNA saja. Dalam penelitian ini peneliti mengukur ekspresi 3 gen yaitu bicoid (bcd) dan  slalom (sll) yang berperan dalam mengatur pembentukkan aksis tubuh, serta chitin synthase (cs) yang merupakan pengkode  enzim dalam pembentukkan kitin penyusun eksoskleton serangga. Peneliti menggunakan dua reference genes untuk menormalisasi ekspresi gen yang diamati yaitu Beta-Tubulin 56D dan ribosomal protein 49. Hasil yang diperoleh peneliti menunjukkan hanya cs yang menunjukkan ekspresi dengan pola tetap, yaitu tidak terekspresi pada umur 0-2 jam pertama, terkadang terekspresi pada umur 2-4 jam, dan selalu terekspresi pada usia 6 jam hingga seterusnya dan ekspresinya semakin meningkat seriring bertambahnya umur L. sericata. Untuk data ekspresi bcd dan sll setelah dinormalisasi dengan Beta-Tubulin 56D dan ribosomal protein 49menunjukkan bahwa ekspresi kedua gen ini semakin menurun. Setelah itu peneliti menghitung data pengukuran umur telur L. sericata berdasarkan ekspresi gen dan membandingkan dengan umur sebenarnya dan menghasilkan data yang benar pada 30 dari 33 kasus. Dari hasil tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa data ekspresi gen dapat digunakan untuk menunjang penentuan Post Morterm Interval (PMI). Peneliti juga menyarankan agar lebih banyak lagi ekspresi gen terkait perkembangan entomologi forensik dipelajari polanya sehingga dapat meningkatkan presisi perkiraan PMI dan memberikan data informatif tambahan.

2.   Correlation of Molecular Expression with Diel Rhythm of Oviposition in  Calliphora vicina (Robineau-Desvoidy) (Diptera: Calliphoridae)  and Implications for Forensic Entomology*

Ritme Circadian merupakan ritme endogen yang tetap pada kondisi konstan terhadap kondisi gelap atau terang selama 24 jam, beberapa diantaranya dikendalikan oleh stimulus lingkungan melalui ada tidaknya matahari. Ritme circadian pada insekta berhubungan dengan perilaku hariannya, seperti: lokomotor, mencari makan pada saat dewasa, eclosion (lepas dari pupa), dan oviposisi. Oviposisi nokturnal penting pada kasus entomology forensik saat kematian terjadi pada malam hari dan untuk mengalkulasi minimum Post Mortem Interval (mPMI). Namun, oviposisi nokturnal bisa berbeda-beda pada setiap wilayah geografis walau spesies yang terlibatnya sama. Belum diketahui secara molekuler apakah pola oviposisi pada calliphoridae berhubungan dengan ritme circadian atau tidak, sehingga membutuhkan investigasi pada tingkat perilaku & molekuler untuk menentukan apakah female blow flies dapat oviposisi pada malam hari. Calliphora vicina (urban bluebottle blowfly) dikenal sebagai lalat bangkai, panjangnya sekitar 10 mm dan berada pada area urban Australia. Blowflies dapat dengan cepat membentuk koloni pada mayat manusia dan merupakan insekta yang sangat berguna dalam memberikan estimasi minimum post-mortem interval (mPMI). Ritme aktivitas siklik locomotornya telah banyak diketahui tetapi ekspresi siklik dari gen circadian yaitu gen per & tim belum terinvestgasi dan belum diketahui secara molekuler apakah pola oviposisi pada calliphoridae berhubungan dengan ritme circadian. Studi tentang fenomena tersebut bertujuan untuk mendeterminasi apakah oviposisi pada C. vicina berkorelasi dengan ritme diel moleculer. 

Penelitian ini dilakukan dalam 2 bagian: (I) Perilaku oviposisi telur pada variasi waktu 12:12 terang/gelap dipantau untuk menentukan ada tidaknya ritme, (II) Ekspresi gen per dan tim pada ovarium  dan system syaraf pusat (SSP) untuk menentukan pola gen tersebut dan apakah ekspresinya berkorelasi dengan waktu oviposisi. Spesimen C. vicina diambil dari halaman universitas Deakin Victoria, Australia. Kemudian dilakukan studi perilaku pada sampel meliputi Pupariasi, Eclosion (saat keluar dari pupa), pematangan ovarium, determinasi ada tidaknya diel-rhytm melalui berbagai ketegori. Selanjutnya dilakukan sudi ekspresi gen (per dan tim) dari setiap perlakuan dengan mengisolasi RNA jaringan ovarium dan kepala dari sampel gravid  non gravid. Hasil menunjukkan bahwa mayoritas telur diletakan saat photophase/ kondisi terang (78%) atau saat scotophase (kondisi gelap) yang bergantian dengan kondisi terang (12%). Sedikit sekali telur yang diletakkan pada saat scotophase/gelap (10%) hal ini membuktikan bahwa oviposisi C. vicina terjadi saat siang hari, oviposisi yang dilakukan pada malam hari disebabkan oleh adanya system yang aritmik pada betina. Hasil ini menunjukkan bahwa jika C.vicina ditemukan telah berkoloni pada suatu mayat, maka diperkirakan >90% peluang oviposisi terjadi saat siang hari. Tetapi jika C. vicina dapat berkoloni di tubuh mayat pada malam hari, hal tersebut mungkin terjadi karena adanya aritmik betina yang melakukan oviposisi saat scotophase (kondisi gelap), walau kecil kemungkinannya. Oviposisi pada C. vicina sesuai dengan internal diel rhythm yaitu siang hari (diurnal). Pada jaringan ovarium non gravid, ekspresi yang terjadi merupakan siklus. Pola yang sama juga terjadi pada otak. Sedangkan pada jaringan ovarium gravid bukan merupakan siklus Siklus. Perbedaan tersebut mungkin terjadi kerena perbedaan tipe jaringan antara ovarium gravid dan non gravid. Non siklik mRNA pada jaringan gravid berasal dari oocyte yang telah matang dan mRNA tersebut menutupi ekspresi mRNA non-germ-line yang menyebabkan siklus pada jaringan non gravid.  

DAFTAR PUSTAKA

Petra Bochme, Jens Amendt, R. Henry L. Disney. Richard Zehner.  2010. Molecular Identification of carrio-breeding scuttle flies (Diptera: Phoridae) using COI barcodes. International Jounral of Legal Medicine. 124: 577-581.
Maite GilArriortua, Marta I. Salona Bordas, Laura M. Caine´, Fa´tima Pinheiro, and Marian M. de Pancorbo. Cytochrome b as a useful tool for the identification of blowflies of forensic interest (Diptera, Calliphoridae).
James Michael Clery, (2001). Stability of Prostate Specific Antigen (PSA, and Subsequent Y-STR typing, Lucilia (phaenicia) sericata (Meigen) (Diptera: Calliphoriae) Maggots Reared From A Simulated Postmortem Sexual Assault . Elsevier, Forensic science international 120 72-76.
Li, X.1, Cai, J.F., Guo, Y.D, Xiong, F, Zhang, L, Feng, H, Meng, F.M, Fu, Y, Li, J.B., and Chen, Y.Q. MitochondriaL DNA and STR Analyses for Human Dna From Maggots Crop Contents: A Forensic Entomology Case From Central-Southern China. Tropical Biomedicine 28(2): 333–338 (2011).
Aaron M. Tarone, Kimberley C. Jennings, & David R. Foran. 2007. Aging Blow Fly Eggs Using Gene Expression: A Feasibility Study Journal of Forensic Science. 52 (6): 1350-1354.
Amendt, J., Richards, CS., Campobasso, C.P., Zehner, R., Hall, M.J.R. 2011. Forensic entomology: applications and limitations. Forensic Sci Med Pathol 7:379–392 
Caine, L., Lima, G., Pontes, L., Abrantes, D., Pereira, M., and Pinheiro, M.F. 2006. Species identification by cytochrome b gene: Casework samples. International Congress Series,1288 : 145-147. 
Farias, I.P., Orti, G., Sampaio, I., Schneider, H., and Meyer, A. 2001. The Cytochrome b Gene as a Phylogenetic Marker: The Limits of Resolution for Analyzing Relationships Among Cichlid Fishes. Journal of Molecular Evolution,53 :89-103. 
GilArriortua, M., Bordas, M.I.S., Caine, L.M., Pinheiro, F., and De Pancorbo, M.M. 2013. Cytochrome b as a useful tool for the identification of blowflies of forensic interest (Diptera, Calliphoridae). Forensic Science International,228 :132–136. (Jurnal Utama).
Tarone, A.M. and Foran, D.R. 2011. Gene Expression During Blow Fly Development: Improving the Precision of Age Estimates in Forensic Entomology. Journal of Forensic Science,56 : 112-122.