10.8.12

Be Beautiful in Every Moment with the Kosher Cosmetics





Wanita terlahir cantik di dunia ini, namun kecantikan setiap wanita berbeda – beda dan terkadang itulah yang menjadikan wanita tidak pernah merasa puas dengan kecantikan lahiriah yang dimiliki. Penilaian kecantikan yang ideal bagi wanita selalu berbeda dari masa ke masa. Hal ini pun tidak luput dari pengaruh budaya barat maupun budaya Korea yang saat ini semakin besar pengaruhnya terhadap wanita – wanita Indonesia terutama para remaja yang sedang beranjak dewasa. 

Di Negara Paman Sam, wanita cantik haruslah berambut pirang (blonde) dan berkulit putih. Sedangkan di Negara Korea dan Jepang, mata yang besar, hidung yang mancung serta kulit wajah yang putih halus dan cantik merupakan patokan. Operasi plastik untuk memperbaiki bentuk hidung dan bentuk mata menjadi sesuatu yang umum di kota-kota besar Korea dan Jepang. Namun standar kecantikan ideal yang menjadi acuan bersama seluruh wanita di dunia, tanpa dihalangi letak geogarfis dan sosial budaya tetap saja berpusat pada standar kecantikan barat.

Bagi wanita Indonesia, untuk mencapai standar kecantikan ideal tersebut tentu saja merupakan perjuangan yang sangat berat. Kulit perempuan Indonesia cenderung gelap, hidung tidak terlalu mancung, rambut tidak pirang dan tubuh pun tidaklah tinggi. Padahal, perempuan Indonesia tidaklah kurang cantiknya. Sudah banyak kisah - kisah mengenai wanita cantik asal Indonesia. Sebut saja Ken Dedes dan Dayang Sumbi adalah salah satu legenda perempuan cantik yang paling kondang di Indonesia pada zamannya. Selain itu, banyaknya suku-suku di Indonesia melahirkan ciri khas kecantikannya sendiri (Kusuma, 2011).

Untuk mendapatkan kulit yang putih, banyak wanita Indonesia yang berpikir instan dan tergoda untuk menggunakan kosmetik – kosmetik yang mampu menjadikan kulit menjadi putih dan halus hanya dalam beberapa minggu tanpa memikirkan kandungan bahan – bahan yang terkandung dalam kosmetik tersebut. Selain terobsesi untuk menjadi putih dengan waktu yang relatif singkat, ketidaktahuan nama-nama bahan kimia yang aman dan bahaya pada kosmetik pun menjadi  penyebab pesatnya produk – produk kosmetik yang  berbahaya beredar secara luas dan menjadi best seller di pasaran.

Kosmetik sebagai produk dalam memelihara kecantikan semakin berkembang seiring dengan perkembangan ilmu bioteknologi. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Tahun 1976, kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam, dipergunakan pada badan manusia dengan maksud membersihkan, memelihara, menambah daya tarik dan mengubah rupa dan tidak termasuk golongan obat.  Zat tersebut tidak boleh mengganggu kulit dan kesehatan tubuh secara keseluruhan (Utay, 2012).

Penggunaan kosmetik sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi wanita di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kosmetik dapat merawat dan menutupi cacat fisik pada wajah dan tubuh seseorang apabila penggunaannya benar dan kandungan di dalamnya aman. Tetapi jika kandungan bahan kosmetik tersebut tidak aman maka kesehatan kita yang akan menjadi taruhannya. Oleh karena itu, sebaiknya pengguna kosmetik wajib mengetahui bahan-bahan apa saja yang sudah dilarang penggunaanya dalam kosmetik dan bagaimana mengenali kosmetik yang aman untuk digunakan.

Informasi dari beberapa blog dan media informasi lainnya melaporkan bahwa BPOM dalam Public Warningnya mengeluarkan beberapa bahan berbahaya dalam kosmetik yang beredar di Indonesia setelah melakukan pengawasan, sampling dan pengujian laboratorium terhadap bahan tersebut dipasaran. Bahan Berbahaya dalam Kosmetik tersebut antara lain : Merkuri, Hidrokinon, Asam Retinoat, Zat Warna Merah K.3 (CI 15585), Merah K.10 (Rhodamin B) dan Jingga K.1 (CI 12075). Pada tahun 2009 sampai 2012, ada sedikitnya 70 produk kosmetik yang menggunakan bahan – bahan berbahaya bagi kesehatan (Mahmudah, 2011).

Fenomena ini harus menjadi perhatian bagi seluruh wanita muslimah di Indonesia, karena seperti kita tahu bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak. Memang, kecantikan adalah anugerah Allah SWT yang harus kita pelihara dan Allah pun menyukai itu. Namun bagi muslimah, merawat dan memelihara kecantikan bukan berarti harus menghalalkan segala cara.

Batasan haram yang harus diwaspadai terutama pada sumber bahan dasar pembuatan kosmetik tersebut, bisa jadi berasal dari hewan atau bagian organ manusia. Jika bahan dasarnya berasal dari babi atau bagian organ manusia, maka jelas produk tersebut dinyatakan haram. Seperti tercantum pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 173 :

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya 
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 

dan Fatwa MUI No.2/MunasVI/MUI/2000, tanggal 30 Juli 2000 tentang pengggunaan organ tubuh, ari-ari dan air seni bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetik adalah haram.

Seiring berjalannya waktu, munculah isu mengenai kosmetik halal di Indonesia dari beberapa blog yang semakin hari semakin berkembang. Konsumen Muslim saat ini semakin sadar bahwa beberapa kosmetik mengandung bahan yang berasal dari hewan yang dinyatakan haram. Selain bahan baku yang digunakan, proses quality control, peralatan, bangunan dan personil yang terlibat dalam penyusunan produk juga mempengaruhi kualitas dan status halal dari kosmetik. Banyak penelitian menyebutkan bahwa tingkat kesadaran mengenai produk kosmetik halal memang masih rendah, tapi cenderung meningkat pesat. Masalah ketersediaan produk halal disebabkan oleh terbatasnya akses bahan baku yang memenuhi standar halal, dan pedoman atau panduan yang bisa memastikan status kehalalan bahan baku tersebut. Oleh sebab itu, usaha sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI semakin mempermudah konsumen muslim di Indonesia dalam memilih produk kosmetik yang telah dijamin kehalalannya oleh MUI.


Seperti halnya makanan dan obat, sertifikasi ini dikeluarkan oleh LPOM (Lembaga Pengawas Obat dan Makanan) MUI. Namun, karena belum meluasnya kesadaran dan kebutuhan konsumen akan kosmetik yang terjamin halal, tidak semua produk kosmetik yang beredar di Indonesia merasa perlu untuk mendaftarkan sertifikasi ini. Kekhawatiran konsumen mengenai kosmetik masih sebatas bahan-bahan yang berbahaya, seperti merkuri, atau bahan berbahaya lainnya. Oleh sebab itu, kita sebagai konsumen yang harus lebih aktif untuk mencermati daftar komposisi produk kosmetik yang beredar di pasaran (Ketupatkartini, 2012).

Kehadiran salah satu kosmetik halal bermerk WARDAH di Indonesia yang telah bersertifikasi MUI semakin mempermudah wanita baik muslim maupun non-muslim untuk tampil cantik tanpa harus khawatir terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh kosmetik ini. Karena kosmetik WARDAH teruji menggunakan bahan – bahan alami yang aman bagi tubuh dan halal secara Islam. Kosmetik WARDAH pun menjadikan upaya untuk mempercantik diri  dengan kosmetik halal menjadi sesuatu yang mungkin dan tidak sulit lagi karena menjadi  cantik itu mudah dan halal.




Referensi Blog :
Fristanti, Ririn. 2012. Bahaya Pemutih dan Kosmetik Palsu. http://ririnfristanti.blogspot.com/2012/06/bahaya-pemutih-dan-kosmetik-palsu.html.
Ketupatkartini. 2012. Bagaimana Memilih Kosmetik Halal. http://fashionesedaily.com/blog/2012/05/01/bagaimana-memilih-kosmetik-halal/.
Kusuma, Anjani. 2011. Perempuan – perempuan Cantik Indonesia. http://sosok.kompasiana.com/2011/08/25/perempuan-perempuan-cantik-indonesia/.
Mahmudah, Lailiyatul. 2011. Kosmetik Berbahaya. http://www.putraindonesiamalang.or.id/1344.html.
Utay. 2012. Kosmetik Halal: Suatu Tuntutan?. http://blogs.unpad.ac.id/muchtaridi/2012/07/12/kosmetika-halal-suatu-tuntutan/.

4.8.12

INTERFERON SEBAGAI TERAPI HEPATITIS B KRONIS

Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal namun yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus-virus ini selain dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan pada hati oleh karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Pertanda adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya nekrosis pada sel-sel hati.

Hepatitis kronik dibedakan dengan hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda peradangan hati dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Virus-virus hepatitis penting yang dapat menyebabkan hepatitis akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E (VHE) sedangkan virus hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus hepatitis B dan C.

Interferon adalah protein alami yang disintesis oleh sel-sel sistem imun tubuh sebagai respon terhadap adanya virus, bakteri, parasit, atau sel kanker. Ada tiga jenis interferon yang memiliki efek antivirus. Ketiganya adalah interferon alfa, beta dan gamma. Efek antivirus yang paling baik diberikan oleh interferon alfa. Interferon alfa bekerja hampir pada setiap tahapan replikasi virus dalam sel inang. Namun, seringkali proses pembentukan interferon alami dalam tubuh berjalan lambat, atau kalah cepat dibandingkan dengan replikasi virus. Oleh karena itu banyak peneliti bioteknologi yang berusaha mengembangkan interferon secara in vitro (di luar tubuh). Kedua hasil interferon mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam menjalankan fungsinya menghambat pembetukan virus dalam tubuh.

Sekarang ini penggunaan interferon dalam dunia kedokteran diharapkan dapat menurangi infeksi penyakit yang diakibatkan oleh virus. Interferon sudah pernah diujicobakan untuk virus influenza, dan mendapatkan hasil yang memuaskan.Sekarang perlu diuji coba pada virus VHB yang mengakibatkan penyakin hepatitis B pada manusia.

Rekayasa genetika untuk produksi interferon dilakukan dengan menyisipkan gen dari sel yang diserang virus ke dalam plasmid E.coli. Interferon adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel-sel yang diserang virus. Interferon dibentuk segera setelah terjadi infeksi dan prosesnya lebih cepat daripada pembentukan antibodi. Interferon tidak spesifik, tetapi efektif untuk melawan infeksi virus, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengobati penyakit kanker kulit, kerusakan pada sistem kekebalan, dan mengobati beberapa bentuk leukemia.

Lewat rekayasa genetika, interferon bisa diproduksi dan dicobakan mengatasi berbagai penyakit virus dari influensa, penolakan tubuh pada transplantasi, sampai kanker. Akhir Maret lalu, kantor berita Gamma Prancis, menyiarkan data baru tentang interferon hasil percobaan Prof. Michel Boiron, seorang hematolog kawakan dari rumah sakit Saint-Louis, Paris. Boiron berhasil mencobakan interferon alfa untuk mengatasi kanker darah leukemia tricholeucocyte sejenis leukemia yang jarang. Dari 35 kasus yang ditanganinya dalam percobaan, 34 menunjukkan hasil yang meyakinkan. Lewat suntikan-suntikan interferon alfa, tricholeucocyte bisa dipulihkan sampai jumlahnya normal. "Kita tinggal menunggu lima tahun lagi untuk memastikan apakah interferon alfa bisa disahkan sebagai penyembuh leukemia tricholeucocyte," ujar Boiron. Memang kesembuhan kanker ditentukan setelah "masa perjuangan lima tahun" atau Five Year Survival. Yang berhasil melalui masa itu bisa dikatakan sembuh. Boiron mengemukakan, bila kesembuhan ini sudah bisa dipastikan, maka dapat pula dikatakan bahwa inilah pertama kalinya kanker disembuhkan tanpa menyerang selsel yang sakit, melainkan dengan membangkitkan sistem pertahanan tubuh. Interferon memang bukan obat kanker seperti sitostatika yang menyerang langsung sel-sel kanker. Keadaan ini, menurut Boiron, menunjukkan bahwa percobaan interferon sudah memasuki percobaan gabungan: percobaan laboratorium dan klinis. Dari sini sudah mulai bisa direka dosis suntikan yang perlu diberikan. Walaupun interferon menurut khayalan Dan Barry adalah obat suntik, substansi itu seperti yang dikatakan Boiron adalah bagian pertahanan tubuh yang terdapat pada sel diproduksi sendiri oleh tubuh. Ketika pada awalnya menemukan, Alick Isaacs dan Jean Lindenmann menyebutkan interferon sebagai substansi yang mampu melindungi sel dari serangan berbagai virus.

Dalam penelitian-penelitian selanjutnya, diketahui, interferon adalah sejenis protein, atau lebih tepatnya memproduksi protein. Protein inilah yang mempunyai sifat antivirus. Sifat antivirus ini ternyata sangat khas. Tidak hanya memblokir pembelahan sel yang terserang virus, tapi juga membangun sistem pertahanan tubuh. Ketika kekhasan ini diteliti lebih jauh, hasilnya menghidangkan sebuah kenyataan yang sangat menakjubkan. Interferon ternyata lebih sesuai dikatakan "kurir" yang dikirimkan sel-sel yang sakit kepada sel-sel sehat untuk memberitakan adanya serangan virus, dan "menyarankan" agar pertahanan dibangun sedini mungkin untuk menghadapi serangan. Misalnya sebuah sel diserang virus. Para penyerang - yang berupa virus-virus itu segera menduduki inti sel dan segera pula menjadikannya "pabrik" reproduksi untuk memperbanyak diri. Inti sel yang sudah diduduki ini akan berbahaya bagi sel-sel lain karena menembakkan virus-virus ke sel-sel lainnya. Begitulah penyakit merambat. Akan tetapi, inti sel yang terserang itu ternyata punya juga pertahanan rahasia. Begitu diduduki, inti sel ini memproduksi interferon, dan merambatkannya ke sel-sel lain - di sekitar sel yang terserang. Sel-sel tetangga yang kedatangan interferon segera memproduksi sejenis protein dan siap menanti serangan. Ketika serangan datang, protein yang disiapkan menggagalkan pendudukan virus dengan jalan memblokir pembelahan inti sel, dan bila perlu memproduksi lagi interferon untuk dikirimkan ke sel tetangga yang lain. Sistem pertahanan interferon serupa itu sangat menarik para ilmuwan. Masalahnya karena substansi alamiah, yang diproduksi tubuh ini, selain ampuh bagi penyembuhan juga tidak menimbulkan dampak samping. Karena itu, menjelang tahun 1980-an, para peneliti memburu kemungkinan memproduksi interferon - mula-mula untuk penelitian, kalau bisa tentunya sebagai obat.

Di laboratorium, interferon memang bisa dibuat. Tapi, selain rumit, juga mahal. Dari ekstraksi 1 ons darah putih bisa didapat hanya sepersejuta ons interferon - biayanya US$ 1.500 (Rp 1,5 juta lebih). Namun, usaha memproduksi inferferon tak berhenti sampai di situ. Dengan bantuan rekayasa genetika, lewat laboratorium yang semacam pabrik, interferon bisa diproduksi lebih banyak, walaupun dengan biaya yang sama mahalnya. Caranya menggunakan teknologi mikro yang sangat menakjubkan, dengan bantuan sejenis bakteri dinamakan bakteri E. Coli - yang memiliki sebuah khromoson, dan beberapa plasma sel. Plasma sel bakteri dilepaskan dari selnya.

Sementara itu, materi genetika pada DNA dalam sel yang memerintahkan pembuatan interferon dilepaskan pula dari sel-sel darah putih. Kedua benda mikro ini, plasma sel dan "cikal interferon", kemudian disambungkan. Setelah penyambungan, gabungan gen ini dipasangkan kembali ke bakteri bakteri E. Coli itulah. Produksi pun berlangsung: bakteri membelah diri (memperbanyak) dan koloni bakteri yang terjadi punmengandung interferon. Inilah bahan obat suntik - yang harganya sekitar 250 juta rupiah sebotol. Hasil penelitian menunjukkan, interferon hasil laboratorium ternyata lebih murni daripada interferon yang dihasilkan oleh tubuh sendiri - struktur molekulnya agak berbeda. Akibatnya, interferon bikinan ini diperhitungkan lebih potensial. Di sini terletak jawaban, mengapa interferon tubuh tidak selalu bisa mengatasi penyakit. Interferon bikinan diharapkan bisa. Mengatasi kanker, misalnya. Dan, Prof. Michel Boiron mulai menemukan tanda-tanda itu.

Beberapa agen saat ini disetujui untuk pengobatan kronis hepatitis B: interferon (IFN) alfa-2b, pegylated interferon (PEG IFN) alfa-2a, lamivudine, adefovir, entecavir, dan telbivudine. IFN efektif pada sebagian kecil .pasien dan memiliki frekuensi efek samping yang batasnya tolerabilitas percobaan terkontrol telah menunjukkan kemanjuran PEG IFN dalam mengobati hepatitis B kronis. Kemanjuran lamivudine dibatasi oleh munculnya resistan terhadap obat hepatitis B (HBV) mutan, membatasi kegunaannya sebagai terapi jangka panjang. Adefovir ditoleransi dan berhubungan dengan rendahnya perlawanan, namun efek antivirus tidak optimal  . Entecavir memiliki efek antivirus tinggi dan baik , namun jangka panjang efektivitas dan profil resistensi belum ditentukan. Lamivudine, adefovir, entecavir dan memiliki keunggulan pemberian oral dan profil keamanan yang sangat baik, tetapi mereka menginduksi kesinambungan dipertahankan setelah penarikan respon terapi pada hanya minoritas dari pasien, sehingga pada kebanyakan pasien pengobatan perlu diberikan tanpa batas. IFNs memiliki dua mekanisme aksi: efek antivirus langsung dicapai dihambat sintesis DNA virus dan dengan mengaktifkan enzim antivirus, dan mekanisme kedua yang meningkatkan respon imun selular terhadap hepatosit yang terinfeksi dengan HBV. PEG IFN, diberikan selama 48 minggu, mencapai tingkat respons keseluruhan berkelanjutan sekitar 30%.

Aktivitas yang terjadi secara alami interferon alfa yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh. Interferon alfa bekerja di tiga cara: ia memiliki efek meningkatkan kekebalan tubuh untuk merangsang sistem kekebalan tubuh terhadap virus, ia memiliki antivirus langsung dengan menghentikan virus dari membagi, mereproduksi dan melindungi sel yang tidak terinfeksi dari terinfeksi.
 
Pengobatan interferon alfa telah digunakan untuk mengobati beberapa jenis infeksi seperti hepatitis B kronis, hepatitis C kronis, kutil kelamin, leukemia, sarkoma Kaposi terkait AIDS dan melanoma. Sejak tahun 1991, FDA (Food and Drug Administration) telah menyetujui beberapa jenis interferon untuk pengobatan hepatitis B kronis, hepatitis C kronis ini meliputi interferon alfa-2b (Intron A), interferon alfa-2a (Roferon), konsensus interferon (Infergen), dan peginterferon. Saat ini, peginterferon dalam kombinasi dengan ribavirin adalah tulang punggung strategi antivirus yang digunakan untuk mengobati hepatitis C kronis.
 
 

Peran Mikroba dalam Pertunasan dan Perakaran

I.    Latar Belakang

Begitu banyaknya petani yang mengeluh di masa sekarang ini, karena berbagai macam persoalan, antara lain, produksi yang terus menurun, tanah tak lagi subur dan begitu mudahnya tanaman terserang hama dan penyakit. Cara umum pak tani mengatasi masalah tersebut biasanya dengan menambah dosis pupuk, dosis insektisida yang akhirnya berujung pada meningkatnya biaya usaha tani.Mikroba memiliki peran penting dalam kehidupan manusia.  Tanpa kehadiran mereka, dunia penuh dengan limbah.  Berkembangnya ilmu pengetahuan telah membuka wawasan bahwa ternyata peran mikroba tidak hanya mampu merombak limbah menjadi mineral yang dibutuhkan oleh tanaman, tetapi masih banyak peran lainnya (Radit, 2010)

Mikroba yang memiliki peran menguntungkan bagi manusia adalah mikroba pengurai, nitrifikasi, nitrogen, usus, dan penghasil antibiotik. Mikroba pengurai memiliki kemampuan merombak senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana.  Hasil perombakannya dapat dimanfaatkan oleh mahluk hidup lainnya. Mikroba nitrifikasi memiliki kemampuan untuk merombak senyawa amoniak menjadi nitrat yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan.  Keberadaan senyawa amoniak dalam media budidaya dapat menimbulkan keracunan bagi ikan yang dibudidaya. Aktivitas mikroba nitrogen sangat bermanfaat bagi tanaman.  Mikroba ini mampu mengikat nitrogen langsung dari udara dan mengubahnya menjadi komponen yang dapat diserap oleh akar.  Mikroba ini hidup diantara akar tanaman. Mikroba usus hidup di saluran pencernaan.  Mikroba ini memiliki peran dalam membusukan sisa makanan di dalam usus.  Selain itu, mikroba ini juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan vitamin B12 dan K yang memiliki peran pening dalam proses pembekuan darah. Mikroba penghasil antibiotik pertama kali ditemukan oleh Alexander Flaming.  Saat ini telah banyak mikroba yang diketahui memiliki kemampuan untuk memproduksi antibiotik.  Antibiotik merupakan senyawa ini banyak digunakan sebagai bahan untuk mengatasi keberadaan mikroba patogen dan pembusuk (Zay, 2008).

II.    Peran Mikroba Dalam Membantu Perakaran dan Pertunasan

Tanaman dapat menyerap unsur hara melalui akar atau melalui daun. Sebagian besar unsur hara diserap dari dalam tanah, hanya sebagian kecil yaitu unsur C dan O diambil tanaman dari udara melalui stomata. Tanaman menyerap unsur hara dari dalam tanah umumnya dalam bentuk ion (NH4+, NO3-, H2PO4-, Ca2+, dll). Unsur hara tersebut dapat tersedia di sekitar akar tanaman melalui aliran massa, difusi dan intersepsi akar. Sistem perakaran sangat penting dalam penyerapan unsur hara karena sistem perakaran yang baik akan memperpendek jarak yang ditempuh unsur hara untuk mendekati akar tanaman.  Bagi tanaman yang sistem perakarannya kurang berkembang, peran akar dapat ditingkatkan dengan adanya interaksi simbiosis dengan Jamur mikoriza (Douds and Millner, 1999). Selain itu juga menurut Lugtenberg and Kravchenko (1999) mikroba tanah akan berkumpul di dekat perakaran tanaman (rhizosfer) yang menghasilkan eksudat akar dan serpihan tudung akar sebagai sumber makanan mikroba tanah. Bila populasi mikroba di sekitar rhizosfir didominasi oleh mikroba yang menguntungkan tanaman, maka tanaman akan memperoleh manfaat yang besar dengan hadirnya mikroba tersebut.

Tujuan tersebut dapat tercapai hanya apabila kita menginokulasikan mikroba yang bermanfaat sebagai inokulan di sekitar perakaran tanaman. Sebagian besar penyebab kekurangan unsur hara didalam tanah adalah karena jumlah unsur hara (makro) sedikit atau dalam bentuk tidak tersedia yaitu diikat oleh mineral liat atau ion-ion yang terlarut dalam tanah.  Untuk meningkatkan kuantitas unsur hara makro terutama N dapat dilakukan dengan meningkatkan peran mikroba penambat N simbiotik dan non simbiotik. Ketersediaan P dapat ditingkatkan dengan menanfaatkan mikroba pelarut P, karena masalah pertama P adalah sebagian besar P dalam tanah dalam bentuk tidak dapat diambil tanaman atau dalam bentuk mineral anorganik yang sukar larut seperti C32HPO4. Jamur mikoriza dapat pula meningkatkan penyerapan sebagian besar unsur hara makro dan mikro terutama unsur hara immobil yaitu P dan Cu (Sharma, 2002).

Mikroba tanah juga menghasilkan metabolit yang mempunyai efek sebagai zat pengatur tumbuh. Bakteri Azotobacter selain dapat menambat N juga menghasilkan thiamin, riboflavin, nicotin indol acetic acid dan giberelin yang dapat mempercepat perkecambahan bila diaplikasikan pada benih dan merangsang regenerasi bulu-bulu akar sehingga penyerapan unsur hara melalui akar menjadi optimal. Metabolit mikroba yang bersifat antagonis bagi mikroba lainnya seperti antibiotik dapat pula dimanfaatkan untuk menekan mikroba patogen tular tanah disekitar perakaran tanaman. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mikroba tanah melakukan immobilisasi berbagai unsur hara sehingga dapat mengurangi hilangnya unsur hara melalui pencucian. Unsur hara yang diimobilisasi diubah sebagai massa sel mikroba dan akan kembali lagi tersedia untuk tanaman setelah terjadi mineralisasi yaitu apabila mikroba mati (Franser, 2010).

Adapun Mikroba yang berperan dalam pertunasan dan perakaran adalah sebagai berikut:

A.    Bakteri Fotosintetik (Rhodopseudomonas palustris, Rhodobacter sphaeroides)
Bakteri fotosintetik merupakan bakteri yang dapat mengubah bahan organik menjadi asam amino atau zat bioktif dengan bantuan sinar matahari. Bakteri ini adalah mikroorganisme mandiri dan swasembada. Bakteri ini membentuk senyawa-senyawa bermanfaat dari sekresi akar tumbuhan, bahan organik dan gas-gas berbahaya dengan sinar matahari dan panas bumi sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat yang terbentuk anatara lain, asam amino asam nukleik, zat bioaktif dan gula yang semuanya berfungsi mempercepat pertumbuhan. Hasil metabolisme ini dapat langsung diserap tanaman dan berfungsi sebagai substrat bagi mikroorganisme lain sehingga jumlahnya terus bertambah (Anonim, 2011).

B.    Bakteri Asam Laktat ( Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Streptococcus lactis)
Bakteri asam laktat ( Lactobacillus spp. ) dapat mengakibatkan kemandulan ( sterilizer) oleh karena itu bakteri ini dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan; meningkatkan percepatan perombakan bahan organik; menghancurkan bahan organik seperti lignin dan selulosa serta memfermentasikannya tanpa menimbulkan senyawa beracun yang ditimbulkan dari pembusukan bahan organik Bakteri ini dapat menekan pertumbuhan fusarium, yaitu mikroorganime merugikan yang menimbukan penyakit pada lahan/ tanaman yang terus menerus ditanami (Anonim, 2011).

C.    Actinomycetes sebagai Antibiotik (Streptomyces albus, Streptomyces griseus)
Actinomycetes menghasilkan zat-zat anti mikroba dari asam amino yang dihasilkan bakteri fotosintetik. Zat-zat anti mikroba ini menekan pertumbuhan jamur dan bakteri. Actinomycetes hidup berdampingan dengan bakteri fotosintetik bersama-sama menongkatkan mutu lingkungan tanah dengan cara meningkatkan aktivitas anti mikroba tanah (Anonim, 2011).

D.    Cendawan Antagonis ( Trichoderma basiana)
Keunggulan jamur Trichoderma sebagai agensia pengendali hayati dibandingkan dengan jenis fungisida kimia sintetik adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen dalam tanah, ternyata juga dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ini terjadi karena adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia aktif dalam memacu hormone pertumbuhan tanaman.

E.    Yeast (Saccharomyces cerevisiae)
Melalui proses fermentasi, ragi menghasilkan senyawa-senyawa bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dari asam amino dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintetik atau bahan organik dan akar-akar tanaman. Ragi juga menghasilkan zat-zat bioaktif seperti hormon dan enzim untuk meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar. Sekresi Ragi adalah substrat yang baik bakteri asam laktat dan Actinomycetes.

Daftar Pustaka

Anonim. 2008. Bakteri Fotosintetik. http://hobiikan.blogspot.com/2008/08/lactobaccilus-bakteri-fotosintetik.html. Diakses 26 Maret 2011.
Anonim. 2011. Teknologi EM-4, Dimensi Baru Dalam Pertanian Modern. http://www. dyahkurnia.student.umm.ac.id/download-as.../student_blog_article_26.doc. Diakses 26 Maret 2011.
Franser. 2010. Peranan Mikroba Tanah Dalam Siklus Unsur Hara Dalam Tanah. http://franser88.blogspot.com/2010/10/peranan-mikroba-tanah-dalam-siklus.html. Diakses 26 Maret 2011.
Radit. 2010. Peranan Mikroba.  http://eafrianto.wordpress.com/2009/11/29/peranan-mikroba/. Diakses 26 Maret 2011.
Zay. 2008. Peranan Mikroba. http://panglima-zay.blogspot.com/2008/11/peranan-mikroba.html.  Diakses 26 Maret 2011.


Bamboo, What's important?

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi sumber daya alam yang sangat besar. Salah satu sumber daya alam yang telah dikenal dan dibudidayakan secara luas di Indonesia adalah bambu. Di Indonesia terdapat sekitar 125 jenis bambu termasuk yang masih tumbuh liar dan belum banyak dimanfaatkan. Namun, dari  jenis-jenis bambu yang ada baru sekitar 20 jenis saja yang telah dimanfaatkan dan dibudidayakan oleh masyarakat. Jenis-jenis tersebut antara lain: bambu apus, bambu ater/apel, bambu andong, bambu betung, bambu kuning, bambu hitam/wulung, bambu talang, bambu tutul, bambu cendani, bambu cangkoreng, bambu perling, bambu tamiang, bambu loleba, bambu batu, bambu belangke, bambu sian, bambu jepang, bambu gendang, bambu bali, dan bambu pagar (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Bambu banyak menyebar di daerah tropis, subtropis Asia. Dari sekitar  1.000 jenis  bambu dalam 80 genera, sekitar 200 jenis dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield and Widjaja, 1995). Di Indonesia, tanaman bambu tumbuh baik di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 3000 m  dari permukaan laut dan pada umumnya ditemukan di tempat-tempat terbuka dan daerahnya bebas dari genangan air (Krisdianto, et al., 2000).

Sistematika bambu (Bambusa sp.)  sebagai berikut:   
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas : Monokotiledoneae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Sub Famili : Bambusoideae
Genus : Bambusa
Spesies : Bambusa sp.

Bambu tumbuh merumpun, memiliki batang yang bulat, berlubang dan beruas-ruas, percabangannya kompleks, setiap daun bertangkai. Diameter bambu sangat tergantung pada jenis dan tempat tumbuhnya dengan variasi antara 0,5-20 cm. Besar diameter batang dewasa dapat diketahui dari besarnya rebung bambu (Dransfield and Widjaja, 1995).

Tempat tumbuh yang disukai bambu adalah lahan yang terbuka dan terkena sinar matahari langsung. Suhu optimal untuk pertumbuhan bambu 8,8-36 oC.  Bambu lebih toleran dengan iklim, di Indonesia bambu dapat tumbuh pada iklim tipe A, B, C, D dan E.  Walaupun demikian semakin basah tipe iklimnya pertumbuhan bambu semakin baik, sebab bambu membutuhkan banyak air. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan bambu adalah minimal 1.020 mm/tahun (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Pembibitan tanaman bambu dapat dilakukan dengan beberapa cara perbanyakan yaitu:
a)    Perbanyakan dengan biji
Perbanyakan dengan biji jarang dilakukan karena pembiakan dengan cara tersebut menyebabkan pertumbuhan yang lebat dan untuk mencapai pertumbuhan normal diperlukan waktu lebih dari 10 tahun. Bambu akan berbunga dan menghasilkan biji setelah berumur 20-60 tahun, setelah itu mati. Penyemaian biji dilakukan pada musim hujan. Biji tersebut dikecambahkan terlebih dahulu dalam media kapas atau sabut kelapa yang telah dibasahi. Satu minggu kemudian biji tersebut kemudian telah berkecambah dan selanjutnya dipindahkan ke dalam polybag yang berisi tanah. Tempat persemaian kemudian diberi naungan. Setelah anakan bambu tersebut telah mencapai umur satu tahun, anakan tersebut telah mencapai 75 cm dan siap dipindahkan ke dalam naungan.

b)    Perbanyakan dengan stek
Perbanyakan bambu dengan cara stek dilakukan dengan menggunakan batang dan cabang bambu yang mepunyai buku yang merupakan sumber pertunasan dan akar. Cara pembibitan perbanyakan bambu dengan cara stek batang berbeda dengan cara stek cabang. Pada persemaian dengan stek batang dilakukan dipersemaian  dengan membuatkan guludan sedang stek cabang dapat dilakukan secara langsung dalam kantung plastik. Batang bibit untuk stek batang dipilih yang berumur 2 tahun. Bagian yang digunakan adalah bagian bawah sampai tengah batang yang mepunyai tunas atau mata tunas. Setelah itu batang dipotong 10 cm di atas buku dan 10 cm di bawah buku sehingga panjang seluruhnya 20 cm, selanjutnya stek disemai dengan cara ditancapkan pada guludan sampai mata tunas tertutup tanah. Bahan bibit untuk stek cabang dipilih yang berumur 3 tahun. Cabang dipotong mulai pada pangkal cabang  yang menempel pada buku cabang, kemudian ujung cabang dipotong sehingga stek cabang diperoleh dengan panjang 75 cm (3-4 ruas cabang) kemudian stek ditancapkan pada kantung plastik yang telah disediakan.

Keunggulan perbanyakan bambu dengan cara stek batang dan stek cabang yaitu sumber bibit yang didapatkan lebih banyak, bibit dapat diperoleh dengan mudah dan murah, tidak merusak rumpun bambu yang ditinggal, waktu pengambilan lebih cepat, kebutuhan bibit untuk areal yang lebih luas lebih memungkinkan dan pembentukan rumpun bambu lebih cepat. Sedangkan kekurangannya adalah daya tumbuh lebih rendah daripada rimpang, kurang tahan terhadap kekeringan dan terbatas untuk jenis-jenis tertentu.

c)    Perbanyakan dengan rhizome/rimpang
Perbanyakan bambu dengan cara rimpang adalah teknik perbanyakan bambu dengan menggunakan akar-akar bambu yang memberikan pertumbuhan tunas sebagai calon batang muda. Perbanyakan bambu dengan teknik seperti ini umum dilakukan oleh masyarakat dan tidak membutuhkan  persemaian kecuali untuk jenis-jenis bambu yang mempunyai ukuran batang relatif lebih kecil. Bahan bibit untuk stek rimpang dipilih dari induk yang berumur sekitar dua tahun.

d)    Perbanyakan dengan kultur jaringan
Perbanyakan bambu dengan kultur jaringan telah dilakukan oleh Puslitbang Bioteknologi LIPI. Dengan teknik perbanyakan seperti ini dapat diperoleh lebih dari 50 tunas bambu dalam satu botol kecil dalam waktu 2 bulan. Perbanyakan dengan metode sangat menjanjikan untuk diterapkan ke depan terutama untuk budidaya bambu skala besar.

Kegiatan pemeliharaan bambu meliputi: pemangkasan, penyiangan dan pembumbunan serta pemupukan. Pemangkasan dilakukan pada awal musim penghujan dan dilakukan dengan cara memotong cabang-cabang bawah setinggi 2-3 cm. Penyiangan pada bambu dilakukan dengan cara mencabut rumput dan pengganggu di sekitar bambu. Pembumbunan dilakukan untuk mencegah mata tunas tidak muncul pada permukaan tanah, sebab jika muncul maka tunas tersebut akan kering dan mati. Selain itu, bertujuan agar rebung dapat tumbuh besar dan tidak berongga.  Pembumbunan dilakukan dengan cara menaikkan tanah di sekitar tanaman dan diberi mulsa serta dilakukan penggemburan tanah disekitar tanaman dan dilakukan pada awal dan akhir musim menggunakan urea, TSP dan KCl.

Pemanenan bambu dapat dilakukan dengan metode tebang habis dan tebang pilih. Pada metode tebang habis, semua batang bambu ditebang baik yang tua maupun yang muda. Kekurangan dari metode ini adalah kualitas batang bambu yang diperoleh bercampur antara bambu yang tua dan yang muda. Selain itu, metode ini juga menimbulkan pengaruh terhadap sistem perebungan bambu, sehingga kelangsungan tanaman bambu terganggu (Kridianto, et al., 2000). Oleh karena itu, pemanenan bambu dengan sistem tebang pilih merupakan pilihan yang tepat dalam budidaya bambu.

Pemanenan bambu ditentukan oleh umur, musim dan bagian yang akan dipanen (batang atau rebung). Pemanenan bambu untuk produksi batang dilakukan selama musim kemarau atau pada awal musim kemarau untuk menghindari serangan serangga penggerek. Untuk keperluan produksi pulp dan barang kerajinan tangan, umur panen biasa lebih cepat yaitu sekitar 1-2 tahun. Untuk keperluan bahan bangunan dan furniture sebaikknya batang bambu dipanen pada umur sekitar 3 tahun. Pemanenan bambu cukup sederhana yaitu dengan cara menabang bambu yang telah dewasa dengan menggunakan parang atau dengan kapak dengan sistem tebang pilih sehingga stok bambu di kebun dapat dipanen sepanjang tahun.

POTENSI

Bambu merupakan komoditas lokal yang telah dikenal oleh masyarakat sejak dulu. Bambu merupakan tanaman yang mudah dijumpai di Indonesia terutama di Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sumatera. Selain mudah dibudidayakan, juga memiliki jumlah produksi yang tinggi yaitu sekitar 33,4-109,2 ton/ha/tahun (Dransfield and Widjaja, 1995) dengan masa panen yang cukup singkat yaitu berkisar 1-3 tahun (Shultoni, 1994) serta dapat dipanen sepanjang tahun sehingga kontinuitas bahan baku ini selalu terjaga.

Indonesia memiliki luas areal hutan bambu yang sangat besar (Gambar 1). Luas hutan bambu tersebar di berbagai propinsi di Indonesia dengan luas total sekitar   164.312,36  ha (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2001).  Namun ini belum termasuk dalam tanaman pada kebun-kebun masyarakat. Salah satu sentra produsen bambu di Indonesia adalah Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan tegakan bambu tersebar pada lahan milik petani secara monokultur baik berupa areal kebun khusus. Jenis bambu yang umum dibudidayakan di Sulawesi Selatan terdiri atas 4 jenis, yaitu Gigantochloa ater, Schizostachyum brachyladum, Bambusa vulgaris, dan Dendrocalamus asper dengan potensi sebesar 8.975 batang/ha (Muin, et al., 2006).



PEMANFAATAN SAAT INI

Tanaman bambu merupakan tanaman yang serba guna, mulai dari akarnya sampai daunnya dapat dimanfaatkan.  Batangnya yang kuat, keras, ringan, ukurannya beragan dan mudah dikerjakan membuat bambu banyak digunakan sebagai bahan bangunan, pagar, jembatan, alat angkutan/rakit, pipa saluran air, atap rumah alat music dan peralatan rumah tangga. Selain itu, saat ini, bambu juga telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan pembuat pulp dan kertas, arang, sumpit (chopstick), plywood/plybambu, furniture, barang kerajinan tangan/cineramata yang merupakan komoditi eksport. Tunas mudahnya (rebung) dapat dijadikan bahan makanan dan telah dimanfaatkan sebagai makanan kaleng, daunnya dapat dijadikan sebagai pembungkus makanan. Akarnya yang kuat dapat dijadikan sebagai bahan kerajinan dan bahan pertanian. Selain itu, tanaman bambu dapat dijadikan sebagai tanaman konservasi karena mempunyai daya dukung terhadap ligkungan yang tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian, bambu memiliki kadar selulosa yang berkisar antara 42,4% - 53,6%, kadar lignin berkisar antara 19,8% - 26,6% sedangkan kadar pentosan 1,24% -3,77%,  kadar abu    1,24% - 3,77%, kadar silika 0,10% - 1,28%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air dingin) 4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5,3% - 11,8% dan kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzena) 0,9% - 6,9%.  Hasil analisis kimia beberapa jenis bambu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Bambu mengandung holoselulosa (sesulosa dan hemiselulosa) berkisar antara 73,32-83,80% (Krisdianto, et al., 2000). Dengan kandungan holoselulosa yang cukup tinggi maka bambu sangat cocok untuk dijadikan bahan kertas dan rayon, bahkan China sangat mengandalkan bahan bambu sebagai bahan baku industri kertasnya. Selain itu, dengan kandungan holoselulosa yang sangat  tinggi membuat bambu menjadi bahan berlignoselulosa yang mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai bahan baku produksi bioetanol.
 
 

Bambu merupakan jenis hasil bukan kayu yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai penghasil bioenergi seperti briket arang dan bioetanol. Selama ini, produksi bioetanol diarahkan pada bahan berpati dan bergula seperti gula tebu, ubi kayu dan jagung. Meskipun sebenarnya proses produksi bioetanol dengan menggunakan bahan tersebut cukup sederhana dan ekonomis. Akan tetapi, statusnya sebagai bahan pangan akan mengakibatkan terjadinya kompetisi pemanfaatan produk sebagai bahan pangan maupun energi (Saddler, 1996). Hal ini tidak hanya berimplikasi pada sektor produksi bahan pangan dan akan dapat menimbulkan permasalahan baru akibat persaingan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat tetapi juga dalam hal pemanfaatan lahan. Fakta ini mendorong perlunya pengalihan penggunaan bahan baku non pangan seperti kayu dan bambu sebagai bahan baku produksi bioetanol.

Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil  bioetanol telah diteliti dan dikembangkan serta mulai dikomersilkan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa bahan berlignoselulosa yang telah diteliti sebagai penghasil bioetanol adalah bagas, jerami dan  kayu (Ballesteros, et al., 2004, Alriksson, et al., 2009). Salah satu Industri bioetanol dari bahan berlignoselulosa adalah perusahaan Iogen di Ottawa, Kanada dengan kapasitas produksi sekitar 40 ton per hari (IEA Bioenergy, 2004). Namun pengembangan bahan berlignoselulosa ini masih terkendala pada proses pengolahannya yang lebih rumit. Walaupun pada dasarnya secara ekonomis harga bahan berlignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak dapat dikembangkan untuk kepentingan pertanian namun biaya produksinya relatif tinggi dibandingkan bahan.

Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil  bioetanol memerlukan proses pendahuluan berupa penghilangan ekstraktif, delignifikasi, dan proses hidrolisisnya lebih sulit dibandingkan bahan berpati dan gula. Oleh karena itu walaupun pada dasarnya harga bahan berlignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan tidak produktif, namun biaya produksinya relatif lebih tinggi (Balat, et al., 2008). Oleh karena itu tantangan utama pemanfaatan bahan berlignoselulosa sabagai bahan baku bioetanol adalah penemuan metode yang efesien dalam konversi menjadi bioetanol  melalui optimalisasi teknologi proses produksi terutama pada proses pretreatment, fraksinasi, hidrolisis (sakarifikasi), fermentasi, dan destilasi (Samejima, 2008).

Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa proses konversi secara biologi lebih efektif dibandingkan konversi secara kimia. Metode biokonversi yang telah terbukti paling efisien adalah metode yang menggunakan enzim selulase. Tantangan teknologi dalam biokonversi tersebut saat ini adalah produktivitasnya yang masih rendah akibat masih kurang optimalnya proses hidrolisis dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol. Walaupun rendemen glukosa dari hasil hidrolisis telah berhasil ditingkatkan sampai mencapai 70% dan rendemen total etanol dari bahan berlignoselulosa telah mencapai 21% (Mtui and Nakamura, 2005), namun hasil ini masih jauh dari yang diharapkan mengingat kandungan selulosa dari kayu dan rumput-rumputan seperti bambu yang dapat dikonversi menjadi bioetanol berkisar 40-50%.

Produktivitas biotanol dari bahan berlignoselulosa sangat tergantung pada beberapa faktor yaitu metode pretreatment seperti jenis bahan kimia, jenis aditif, suhu dan lama pemanasan, metode hidrolisis terutama kondisi subtrat dan konsentrasi selulase, suhu dan pH media, penambahan enzim β-glukosidase dan xylanase dan feruloyl esterase  serta konsentrasi dan jenis mikroba dan fermentasi (Wyman, 1996). Rendahnya rendemen etanol dari bahan berlignoselulosa  ini yang disebabkan oleh adanya zat penghambat (inhibitor) sebagai hasil hasil samping dari proses hidrolisis bahan berlignoselulosa tersebut seperti asam asetat, furan aldehid, vanillin, dan fenol yang dapat menghambat kerja mikroba fermentasi. Selain itu adanya interaksi antara enzim dan subtrat sangat mempengaruhi proses kerja enzim dalam proses hidrolisis dan fermentasi (Li, et al., 2007).

Beberapa metode yang digunakan untuk mengurangi biaya produksi pada proses biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol adalah dengan melakukan proses sakarifikasi dan fermentasi dalam waktu yang bersamaan. Metode ini dikenal dengan nama Simultaneous Sccharification and Fermentation (SSF). Metode SSF telah berhasil diterapkan pada proses produksi bioetanol dari kayu. Penerapan metode SSF ini telah terbukti lebih ekonomis dibandingkan dengan metode Separate Hydrolysis and Fermentation (SHF) (Stenberg, et al., 1999).   Produksi bioetanol dari bahan berlignoselulosa dengan metode SSF sangat tergantung pada metode pretreatment, hidrolisis serta kondisi media fermentasi yang digunakan (Sun and Cheng, 2002; Hagerdal, et al., 2006). Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa  pretreatment dengan pemanasan dapat meningkatkan rendemen sekitar 20% (Ballesteros, et al., 2004). Selain itu, pretreatment lain yang juga efektif adalah pemberian pemanasan dan bahan kimia seperti SO2, H2SO4, HNO3, HCl, NaOH, pemasanan dengan pemberian aditif seperti pemberian Ca(OH)2, bovine serum albumin (BSA), 1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride  (Stenberg et al., 1999).

Beberapa peneliti juga mencoba mengoptimalkan proses hidrolisisnya yaitu dengan merekayasa kondisi subtrat dan konsentrasi selulase, pengaturan suhu dan pH dan penambahan β-glukosidase, pemberian xylanase  dan feruloyl esterase  serta penggunaan enzim yang dihasilkan dari jamur seperti Trichoderma reesei dan Aspergillus niger (Piccolo and Bezzo, 2008; Balat, et al., 2008; Alriksson, et al., 2009). Selain itu, pengoptimalisasian proses fermentasi dapat dilakukan dengan cara menggunakan mikroba yang telah terbukti lebih efektif dalam proses fermentasi glukosa dari bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol seperti Saccharomyces cereviciae, Zimomonas mobilis, Escherichia coli, Corynebacterium glutamicum, serta penggunaan strain mikroba hasil rekaya bioetknologi seperti Kluyveromyces marxianus CECT 10875,  Escherichia coli KO11 (Okuda, et al., 2007; Sukumaran, et al., 2009),  serta merekaya tanaman penghasil bioetanol sehingga mudah dihidrolisis menjadi bioetanol (Ayako, et al., 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Alriksson, B., S. H. Rose, W. H. V. Zyl, A. Sjode, N. O. Nilvebrant and L. Jonsson. 2009. Cellulase Production from Spent Lignocellulose Hydrolysates with Recombinant Aspergillus niger. American Society for Microbiology, USA.

Ayako, E., N. Toshihide, A. Akira, T. Ken, S. Jun. 2008. Genome-wide Screening of the Genes Required for Tolerance to Vanillin, which is a Potential Inhibitor of Bioetanol Fermentation in Saccharomyces cerevisiae. Biotechnology for Biofuels Journal. 1 (1): 1-3.

Balat, M., H. Balat and C. Oz. 2008. Progress in Bioetanol Processing. Progress in Energy and Combustion Science Journal. 34 (5): 551-573.

Ballesteros, M., J. M. Oliva, M. J. Negro, P. Manzanares, and I. Ballesteros. 2004. Ethanol from Lignocellulosic Materials by a Simultaneous Saccharification and Fermentation Process (SFS) with Kluyveromyces marxianus CECT 10875.  Process Biochemistry Journal. 39: 1843-1848.

Bruce A. and W. Palfreyman. 1998. Forest Products Biotechnology. T. J. International Ltd, Salisbury, UK.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan.  1999.  Panduan Kehutanan Indonesia.  Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2001. Rencana Pengembangan Industri Anyaman Bambu di Indonesia dengan Sistem Cluster. Direktorat Jenderal dan Industri dan Dagang Kecil Menengah, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Republik Indonesia.

Dransfield, S., and E.A. Widjaja. 1995. Plant Resources of South East Asia (PROSEA) No. 7: Bamboos. Backhuys Publisher Leiden.

Hambali, E., S. Mujdalipah, A. H. Tambunan, A. W. Pattiwiri dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Hagerdal, B. H., M. Galbe, M.F. G. Grauslund,  G. Lidén and G. Zacchi. 2006. Bio-ethanol: The Fuel of Tomorrow from the Residues of Today. Trends in Biotechnology Journal.24:  549-556.

IEA Bioenergy. 2004. Biofuels for Transport. IEA Bioenergy, USA.

Krisdianto, G. Sumarni, dan A. Ismanto. 2000. Sari Hasil Penelitian Bambu. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Li,  A., B. A. Ladislao and M. Khraisheh. 2007. Bioconversion of Municipal Solid Waste to Glucose for Bioetanol Production. Bioprocess and Biosystems Engineering Journal. 30 (3): 189-196.

Mtui, G. and Y. Nakamura. 2005. Bioconversion of Lignocellulosic Waste from Selected Dumping Sites in Dar es Salaam, Tanzania. Biodegradation Journal. 16 (6): 493-499.

Muin, M., Suhasman, N.P. Oka, B. Putranto, Baharuddin, dan S. Millang, 2006. Pengembangan Potensi dan Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Baku Konstruksi dan Industri di Sulawesi Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan.

Okuda, N., K. Ninomiya, M. Takao, Y. Katakura and S. Shioya. 2007. Microaeration Enhances Productivity of Bioetanol from Hydrolysate of Waste House Wood using Ethanologenic Escherichia coli KO11. Bioscience and Bioengineering Journal. 103 (4): 350-357.

Pearce, F. 2002. Pemanasan Global: Panduan Bagi Pemula Tentang Perubahan Iklim Bumi. Alih Bahasa: W Mangunwardoyo.  PT Gelora Aksara, Jakarta.
Piccolo, C. and F. Bezzo. 2008. A Techno-Economic Comparison Between Two Technologies for Bioetanol Production from Lignocelluloses. Biomass and Bioenergy Journal. 33 (3): 478-491.

Prihandana, R., K. Noerwijan, P. G. Adinurani, D. Setyaningsih, S. Setiadi, dan   R. Hendroko. 2007. Bioetanol Ubi Kayu Bahan: Bakar Masa Depan. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Saddler, J. N. 1993. Bioconversion of Forest and Agricultural Plant Residues. C.A.B. International, United Kingdom.
Samejima, M. 2008. Scenario of Technical Innovation for Production of Ethanol as Automobile Fuel from Cellulosic Biomass in Japan. In Proceedings. Iternational Association of Wood Products Societies. Harbin, China.

Stenberg, K., M. Bollok., K. Reczey, M. Galbe, and G. Zacchi. 1999. Effect of Substrate and Cellulase Concentration on Simultaneous Saccharification and Fermentation of Steam-Pretreated Softwood for Ethanol Production. Journal of Biotechnology and Bioengineering. 68 (2): 204-210.

Sukumaran, R. K., R.R. Singhania, G.M. Mathew and A.Pandey. 2009. Cellulase Production using Biomass Feed Stock and its Application in Lignocellulose Saccharification for Bioetanol Production. Renewable Energy Journal. 34 (2): 421-424.

Sun Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production: A Review. Bioresource Technology Journal. 83 (1): 1-11.

Tim Nasional. Bahan Bakar Nabati. 2008. Bahan Bakar Alternatif dari Tumbuhan sebagai Pengganti Minyak Bumi  dan Gas. Penebar Swadaya, Jakarta.

Wyman, C. E. 1996. Handbook on Bioetanol: Production and Utilization.   Taylor & Francis, Ltd., Washinton, United States of America.

www.dephut.go.id [27 Maret 2007]