Entomologi
forensik adalah multidisplin ilmu mengumpulkan dan menganalisa bukti serangga
untuk membantu dalam penyelidikan forensik. Aplikasi utamanya adalah dalam
penentuan waktu kematian dalam kasus-kasus kematian yang mencurigakan, baik
dengan memperkirakan oviposisi serangga, atau dengan menganalisis komposisi
spesies serangga pada mayat. Selain itu, data serangga dapat digunakan untuk
membantu mengungkap penyebab kematian atau bahkan identitas korban (Amendt et al., 2011). Selain penentuan
waktu kematian yang lebih akurat, data molekuler serangga juga dapat
dimanfaatkan untuk menganalisa materi genetik manusia yang ada di dalam tubuh
serangga, terutama pada fase larva yang masih belum memiliki aktivitas
nuklease. Pada makalah ini akan dibahas mengenai pemanfaatan metode molekuler
dalam entomologi forensik terutama dalam penentuan spesies, analisis DNA
manusia dalam larva serangga dan studi ekspresi gen.
A. PENENTUAN
SPESIES BERDASARKAN IDENTIFIKASI MOLEKULER SERANGGA
Identifikasi spesies serangga berdasarkan morfologi
merupakan studi yang telah dilakukan sejak lama. Saat ini telah banyak buku
entomologi berisi kunci determiasi untuk identifikasi suatu spesies serangga.
Seiring dengan perubahan lingkungan, beberapa serangga mengalami beberapa
adaptasi morfologi sehingga terdapat beberapa spesies serangga yang sulit
dibedakan secara morfologi. Fase serangga yang banyak ditemukan pada mayat
adalah berupa larva dan pupa. Kedua bentuk tersebut meskipun memiliki keunikan morfologi
antar satu spesies dengan spesies lain tetapi masih sulit dibedakan bagi
pengamat pemula. Di sisi lain keberadaan ahli serangga cukup terbatas. Hal
tersebut menjadi hambatan bagi keakuratan penentuan kematian serangga. Dengan
penemuan metode identifikasi spesies berbasis molekuler, kesulitan tersebut di
atas diharapkan dapat diatasi. Berikut ini adalah ringkasan beberapa artikel
penelitian mengenai pemanfaatan identifikasi serangga berbasis molekuler,
terutama menggunakan teknologi DNA barcoding berbasis DNA mitokondria.
1. Molecular
Identification of Carrion-Breeding Scuttle Flies (Diptera: Phoridae) using COI barcodes
DNA Mitokondria
memiliki kelimpahan di sel dan bersifat haploid karena hanya diturunkan dari
induk maternal, sehingga sering digunakan dalam identifikasi molekular, dengan
marker gen utamanya COI (Cytochrom Oxidase I), berupa fragmen DNA sepanjang 658
bp dengan tingkat variasi tinggi. Prosedur sekuensis nya adalah (1) ekstraksi
DNA menggunakan metoda ekstraksi fenol-kloroform (2) amplifikasi gen COI
menggunakan PCR dengan desain primer LCO1490 (5-‘GGTCAACAAATCATAAAGATATTGG) dan
HCO2198 (5-‘TAAACTTCAGGGTGACCAAAAAATCA (Folmer et al, 1994) (3) penetuan
sekuens nukleotida berdasarkan produk PCR menggunakan kit gel-filtrated columns dan
software khusus (Bioedit).
Pada penelitian
ini dilakukan identifikasi molekuler pada kelompok serangga Scuttle flies (Phoridae. Scuttle flies merupakan famili serangga yang cukup penting dalam
bidang forensik entomologi terutama dalam kaitannya dengan penentuan
Post-Mortem Interval (PMI). Dikarenakan ukurannya yang sangat kecil (dewasa:2-3
mm), serangga ini mampu mencapai lokasi yang tidak mampu dijangkau oleh jenis
blowflies (Calliphoridae). Diketahui
bahwa Blowflies adalah jenis serangga pertama yang mendatangi jenazah dan
meletakkan telurnya pada kondisi TKP terbuka atau yang memiliki akses luas
untuk didatangi. Sedangkan untuk TKP yang tertutup (aksesnya sangat terbatas),
jenis blowflies tidak mampu menjangkaunya, maka famili Scuttle flies (Phoridae) dengan ukuran tubuh yang
sangat kecil, memiliki akses untuk mencapai lokasi tersebut. Famili ini hidup
sebagai scavenger, herbivora, dan
predator, memiliki kemampuan menggali hingga ke dalam tanah bahkan menyusup
kedalam peti mati jenazah sekalipun. Selain itu, Scuttle flies juga berperan
dalam proses myiasis, yaitu aktivitas invasi larva diptera pada jaringan/organ
vertebrata (parasit).
Scuttle flies
aktif pada tahap awal proses pembusukan dan tahap akhir proses dekomposisi
suatu jenazah, terutama genus Megaselia.
Adapun spesies utama yang terlibat dalam entomologi forensik adalah Megaselia scalaris, Megaselia giraudii, Megaselia abdita, Megaselia rufipes, dan Conicera tibialis. Sedangkan Puliciphora borinquenensis merupakan
kandidat spesies yang masih dipelajari dalam kaitannya dengan entomologi
forensik. Dikarenakan ukuran dan kemiripannya, spesies-spesies dalam famili ini
sangat sulit dibedakan secara morfologi, oleh karena itu identifikasi molekular
menggunakan DNA mitokondria, sangat
membantu dalam menentukan variasi
interspesifik dan intraspesifik suatu spesies untuk melengkapi data panduan
dalam penentuan PMI suatu jenazah. Dari identifikasi molecular tersebut, diperoleh
hasil bahwa family Phoridae memiliki variasi interspesifik dan intraspesifik
yang cukup beragam, analisis DNA juga menunjukkan adanya kesamaan haplotype
antara varian satu dengan lainnya didalam satu spesies. Dari identifikasi
tersebut, nantinya juga dapat ditentukan apakah jenazah tersebut mengalami
kematian wajar atau tidak berdasarkan siklus hidup masing-masing serangga yang
teridentifikasi.
2. Cytochrome b as a
useful tool for the identification of blowflies of forensic interest (Diptera,
Calliphoridae)
Perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya pada bidang entomologi forensik telah banyak
mengembangkan berbagai metode yang dapat memudahkan dan menghasilkan data yang
tepat dan akurat. Keakuratan dan ketepatan data ini sangat berpengaruh untuk
dapat menentukan Post Mortem Interval (PMI), Post Mortem Transfer, perlakuan
kekerasan sebelum kematian dan ada tidaknya penggunan obat-obatan ataupun racun
(GilArriortua et al., 2013; Tarone et al., 2011). Entomologi forensic ini
memanfaatkan serangga-serangga yang biasa mengkolonisasi tubuh mayat manusia
salah satunya untuk dapat menentukan Post Mortem Interval (PMI).
Salah satu familia serangga yang merupakan
necrophagus yang pertama kali mengkolonisasi mayat manusia yaitu Calliphoridae
(GilArriortua et al., 2013; Tarone et al., 2011). Untuk dapat mengidentifikasi
berbagai macam spesies serangga ini dapat dilakukan dengan cara konvensional
melalui karakteristik morfologinya. Adanya kemiripan morfologi pada beberapa
jenis serangga khususnya pada tahap perkembangan instar menjadi salah satu
kesulitan dalam proses identifikasi (GilArriortua et al., 2013; Tarone et al.,
2011). Perkembangan identifikasi secara molekuler ini dapat memberikan hasil
identifikasi serangga yang lebih tepat pada setiap tahapan perkembangan
serangga.
Penggunaan DNA mitokondria merupakan salah satu
metode molecular dalam mengidentifikasi spesies serangga. Penggunaan DNA
mitokondria digunakan karena banyak jumlah kopinya dan memiliki tingkat mutasi
yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti.
Cytochrome b merupakan salah satu gen dari 37 gen yang terdapat dalam
genom sirkular mitokondria yang bermanfaat dalam filogenetik (Farias et al.,
2001; Caine et al., 2006). Hal tersebut dikarenakan gen ini memperlihatkan
variabilitas yang terbatas dalam satu spesies dan memiliki banyak variasi antar
spesies. Penggunaan cytochrome b dapat dikontribusikan dengan pengunaan
cytochrome oxidase untuk menghasilkan data yang lebih komperhensif.
Berdasarkan identifikasi molecular ini dapat
dihasilkan dapat identifikasi yang lebih tepat untuk mendukung data hasil
identifikasi konvensional serta pohon filogenetik. Pohon filogenetik ini dapat
menjadi sumber identifikasi jika terdapat spesies baru yang terdapat dalam
suatu investigasi. Berdasarkan pohon filogenetik ini kita dapat melihat
kedekatan evolusi antar spesies, sehingga jika terdapat spesies baru yang
terdapat dalam suatu investigasi dapat diperkirakan dengan cara melihat
kedekatan evolusinya. Melalui data tersebut dapat diperkirakan kemiripan dalam
siklus hidup serta tahapan perkembangannya untuk dapat memperkirakan Post
Mortem Interval (PMI) dalam suatu investigasi, serta ada tidaknya Post Mortem
Transfer, dan kondisi lain sebelum kematian terjadi.
B. ANALISIS DNA MANUSIA PADA LARVA SERANGGA
Keberadaan larva serangga nekrofagus dapat memberi
keuntungan tidak hanya dalam penentuan waktu kematian (Post morterm interval).
Secara tidak langsung, larva serangga nekrofagus dapat mempreservasi materi
genetik dari jenazah, karena larva serangga belum memiliki enzim pemecah materi
genetik (nuklease). Berikut akan diulas mengenai beberapa aplikasi metode
analisis DNA manusia pada larva serangga dalam membantu memecahkan kasus
entomologi forensik khususnya pada pendekatan kasus pemerkosaan dan kasus
bagian tubuh yang terpisah berbasis analisis Short Tandem Repead ( STR).
1.
Stability of Prostate Specific Antigen
(PSA, and Subsequent Y-STR typing, Lucilia (phaenicia) sericata (Meigen) (Diptera:
Calliphoriae) Maggots Reared From A Simulated Postmortem Sexual Assault
Pada kasus terjadi trauma pada organ genital
(vagina/anus) korban, terutama pada korban anak-anak dan remaja. Adanya trauma
pada organ genital menjadi atraktan bagi blowflies
untuk meletakkan telur. Telur blowfies
akan berkembang menjadi larva dan memakan jaringan lunak pada vagina. Pada
korban pemerkosaan dari hasil penelitian di Ohio selama 4 tahun didapatkan 48%
kasus ditemukan spermatozoa pada vagina korban. DNA dari spermatozoa yang
ditemukan pada korban, dapat digunakan sebagai sampel untuk penentukan pelaku
dengan menggunakan metode molekuler. Mayat korban pembunuhan-pemerkosan akan
mengalami dekomposisi dan sel-sel vagina akan mengeluarkan senyawa yang
menghancurkan spermatozoa dan medegradasi DNA.
Divisi Cyclorrhapha
(Muscidae, Fanniidae, Calliphoridae, dan Sracphagidae) merupakan fauna yang sering ditemukan pada mayat.
Pada stage larva akan memakan
jaringan vagina yang mengandung spermatozoa sehingga terjadi akumulasi DNA
manusia pada perut larva, untuk itu ekstraksi DNA manusia dari larva mungkin
dilakukan untuk dijadikan metode dalam pemecahan kasus pembunuhan-pemerkosaan
jika tidak memungkinkan untuk mengekstraksi DNA dari spermatozoa langsung.
Analisis yang digunakan untuk identifikasi dengan mendeteksi adanya Prostate
Spesifik Antigen (PSA) pada sampel menggunakan teknik P30 ELISA (enzyme linked
immunoabsorbant essay). PSA merupakan
glycoprotein yang dikeluarkan oleh sel epitel prostat gland. Hasil uji
PSA dilanjutkan dengan analisis Y-chromosomal Short Tandem Repeat (Y-STR).
Y-STR spesifik ditemukan pada laki-laki dan varibel pengulangan berbeda setiap
individu sehingga digunakan sebagai marker deteksi.
Penelitian dilakukan dengan mensimulasi kejadian
dengan sampel liver yang diberikan cairan
semen pada jumlah yang bervariasi, kemudian diletakkan telur dari Phaenicia sericata (meigen) dan disimpan
pada suhu 24oC. Setiap sampel diambil instar kedua dan dilakukan
ekstraksi DNA manusia dari seluruh tubuh larva dan bagian perut larva yang diambil
secara diseksi. Selain larva juga diambil sampel swab liver, postfeeding, early
pupa, dan late pupa sebagai
pembanding.
Hasil menunjukkan bahwa PSA dapat dideteksi dari
swab liver, larva total, dan bagian
perut larva pada 48 jam inkubasi. Nilai PSA meningkat sebanding dengan jumlah
cairan semen yang diberikan. Y-STR dapat dideteksi dari DNA yang diekstraksi
dari perut larva dengan profil panjang Y-STR sama dengan DNA kontrol. Data
penelitian ini menunjukkan bahwa ekstraksi DNA manusia dari tubuh larva dapat
digunakan sebagai metode baru untuk memecahkan kasus pembunuhan-pemerkosaan.
Namun data yang ditemukan menggunakan metode ini harus dihubungkan dengan
kejadian spesifik kasus.
2. MitochondriaL DNA and STR Analyses for Human
Dna From Maggots Crop Contents:
A Forensic Entomology Case From Central-Southern
China
Larva dan serangga dewasa seringkali ditemukan pada
jenazah manusia dan memberikan petunjuk penting untuk mengetahui estimasi dari
interval postmortem (PMI). Diketahui dari penelitian sebelumnya bahwa
penentuan usia spesimen serangga dari telur yang ditemukan pada jenazah,
menjadi cara yang akurat untuk menganalisa forensik suatu kasus yang terjadi
sebelum kematian. Larva biasa digunakan untuk memperkirakan periode aktivitas
serangga berdasarkan spesimen serangga tertua yang ditemukan pada jenazah,
sehingga dapat dikaitkan dengan waktu kematian dari jenazah tersebut.Dalam kasus tertentu, ketika larva ditemukan namun tidak
ada jenazah yang ditemukan atau bagian tubuh jenazah tidak kumplit, maka
keterkaitan antara kemunculan larva dengan jenazah menjadi sangat penting.Oleh sebab itu, analisis DNA baik pada serangga maupun
jenazah menjadi dibutuhkan. Untuk identifikasi manusia, analisis DNA
mitokondria sering digunakan karena high
copy number (salinan tinggi) di dalam sel sehingga dapat digunakan ketika
jaringan yang ditemukan dari jenazah dalam keadaan rusak (tidak utuh).
Pada larva blow fly
yang terdapat pada jenazah, potongan makanan dan cairan yang berasal dari
jenazah disimpan sementara sebelum dicerna. Proses utama pencernaan tidak
terjadi pada larva karena enzim proteolitik tidak disekresikan pada tahapan
serangga ini. Hubungan yang erat antara dua orang atau tubuh manusia biasanya
bergantung pada jenis yang sama disuatu lokus seperti dipelajari pada
mikrosatelit, termasuk metode STR (short
tandem repeat). Penelitian sebelumnya diketahui bahwa analis STR dan dua
bagian pada daerah hiper-variabel (HVI
dan HVII) pada non-coding (kontrol)
atau D-Loop digunakan untuk mengidentifikasi jaringan manusia, sedangkan
serangga menggunakan 16S rDNA. Dalam penelitian
ini, untuk menganalisis jaringan manusia digunakan metode analisis mtDNA (HVII)
dan STR, sedangkan gen 16S rDNA dipilih untuk mengidentifikasi isi dari bagian
tembolok/usus larva serangga. Larva dikumpulkan dari jenazah manusia yang
diidentifikasi isi tembolok/usus dan menjadi sasaran analisis genetika mtDNA
dan STR.
Gambaran kasus pada penelitian ini adalah ditemukannya
jenazah yang terpisah antara bagian tubuh dan kepala dengan jarak setiap bagian
tubuh adalah 500 m serta tubuh telah membusuk dan sulit diidentifikasi. Untuk
meyakinkan kepemilikan tubuh tersebut berasal dari 1 individu yang sama, maka
dilakukanlah analisis mtDNA dan STR seperti telah disebutkan dipenjelasan
sebelumnya. Metode penelitian ini terdiri dari 4 tahapan, yaitu pengumpulan
sampel larva dari 2 bagian tubuh jenazah, pencucian dan diseksi larva, ekstraksi
dan amplifikasi DNA dari jaringan manusia dan tubuh larva, serta analisis STR.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva yang dikumpulkan dari bagian tubuh
jenazah merupakan instar III dengan ukuran dari 1.1cm s.d 1.6 cm, dan pada
bagian eksterior tubuh larva terlihat berwarna gelap. Hasil identifikasi baik
secara morfologi maupun molekuler menunjukkan bahwa larva tersebut merupakan
larva serangga Aldrichina grahami.
Analisis mtDNA menunjukkan bahwa fragmen HVII berhasil diisolasi dari jaringan
manusia pada tubuh I, II dan bagian tembolok/usus larva, serta hasil
elektroforesis menunjukkan adanya pita yang menunjukkan fragmen HVII hasil PCR.
Analisis STR dari jaringan manusia dan bagian tembolok/usus larva menunjukkan
profil lengkap STR (16 lokus) untuk semua spesimen. Profil STR yang diperoleh
dari jaringan manusia cocok satu sama lain dengan yang diperoleh dari tubuh larva.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa analisis mtDNA dan STR merupakan
bagian dari entomologi foresik molekuler yang dapat menganalisis PMI secara
cepat dan akurat.
C.
STUDI EKSPRESI GEN
Beberapa metode molekuler yang
telah dijelaskan sebelumnya merupakan metode berbasis pada analisis sekuens
DNA. Selain DNA, terdapat materi genetik lain yang dapat dimanfaatkan ke
depannya dalam bidang entomologi forensik, yaitu ekspresi gen pada level mRNA.
DNA dijaga agar tetap stabil di dalam sel. Di dalam DNA terdapat sekuens coding
maupun non coding. Studi ekspresi gen difokuskan kepada kuantifikasi ekspresi
dari coding sekuens yang secara langsung menentukan fenotip termasuk morfologi
makhluk hidup. Berikut akan dibahas mengenai artikel studi ekspresi gen pada
serangga terkait dengan entomologi forensik.
1. Aging Blow Fly Eggs
Using Gene Expression: A Feasibility Study
Penentuan waktu
kematian dengan memanfaatkan data perkembangan serangga berbasis morfologi telah lama dilakukan dalam
entomologi forensik. Diantara beberapa jenis serangga yang paling sering
dimanfaatkan dalam penentuan PMI adalah golongan Blow Flies (Diptera:
Calliphoridae). Salah satu spesies Blow flies yang banyak ditemukan adalah Lucilia sericata, dimana waktu
perkembangannya telah diketahui yaitu berkisar antara 2-5 hari. Akan tetapi,
pada kasus tertentu perkembangan tersebut dapat tertunda beberapa hari sehingga
penentuan PMI berdasarkan serangga tersebut diragukan.
Selain data morfologi,
terdapat hal lain yang juga diregulasi selama masa perkembangan, yaitu ekspresi
gen. Selama ini penelitian di bidang perkembangan telah mengungkapkan beberapa
gen yang aktif selama perkembangan serangga termasuk Lucilia serata. Oleh sebab itu, peneliti pada artikel penelitian
ini ingin mengetahui apakah data ekspresi gen dapat dimanfaatkan untuk
menentukan Post Morterm Interval dengan lebih tepat.
Penelitian ini
menggunakan Lucilia serata yang dikumpuklan dari East Lansing Michigan
dan kemudian dipelihara di dalam laboratorium dalam kandang lalat yang berisi
hati. Telur yang dikumpulkan per jam dikumpulkan dan disimpan dalam RNA later
kemudian diekstrasi RNAnya. Ekstraksi RNA dibagi menjadi 8 jam kelompok. Isolat
RNA yang dihasilkan kemudian disintesis menjadi cDNA agar dapat dikuantifikasi
dengan label Fluorescence SYBR green yang hanya akan melekat pada DNA yang
memiliki ikatan rangkap. Sebelumnya peneliti juga melakukan Dnase treatment
untuk mendegradasi DNA genom agar tidak terukur, sehingga yang terukur
benar-benar hanya mRNA saja. Dalam penelitian ini peneliti mengukur ekspresi 3
gen yaitu bicoid (bcd) dan slalom
(sll) yang berperan dalam mengatur pembentukkan aksis tubuh, serta chitin synthase (cs) yang merupakan
pengkode enzim dalam pembentukkan kitin
penyusun eksoskleton serangga. Peneliti menggunakan dua reference genes untuk
menormalisasi ekspresi gen yang diamati yaitu Beta-Tubulin 56D dan ribosomal
protein 49. Hasil yang
diperoleh peneliti menunjukkan hanya cs yang
menunjukkan ekspresi dengan pola tetap, yaitu tidak terekspresi pada umur 0-2
jam pertama, terkadang terekspresi pada umur 2-4 jam, dan selalu terekspresi
pada usia 6 jam hingga seterusnya dan ekspresinya semakin meningkat seriring bertambahnya
umur L. sericata. Untuk data ekspresi
bcd dan sll setelah dinormalisasi dengan Beta-Tubulin 56D dan ribosomal
protein 49menunjukkan bahwa ekspresi kedua gen ini semakin menurun. Setelah itu
peneliti menghitung data pengukuran umur telur L. sericata berdasarkan ekspresi gen dan membandingkan dengan umur
sebenarnya dan menghasilkan data yang benar pada 30 dari 33 kasus. Dari hasil
tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa data ekspresi gen dapat digunakan untuk
menunjang penentuan Post Morterm Interval (PMI). Peneliti juga menyarankan agar
lebih banyak lagi ekspresi gen terkait perkembangan entomologi forensik
dipelajari polanya sehingga dapat meningkatkan presisi perkiraan PMI dan
memberikan data informatif tambahan.
2.
Correlation
of Molecular Expression with Diel Rhythm of Oviposition in Calliphora vicina
(Robineau-Desvoidy) (Diptera: Calliphoridae) and Implications for Forensic Entomology*
Ritme
Circadian merupakan ritme endogen yang tetap pada kondisi konstan terhadap kondisi
gelap atau terang selama 24 jam, beberapa diantaranya dikendalikan oleh
stimulus lingkungan melalui ada tidaknya matahari. Ritme circadian pada insekta
berhubungan dengan perilaku hariannya, seperti: lokomotor, mencari makan pada
saat dewasa, eclosion (lepas dari pupa), dan oviposisi. Oviposisi
nokturnal penting pada kasus entomology forensik saat kematian terjadi pada malam hari dan
untuk mengalkulasi minimum Post Mortem Interval (mPMI). Namun, oviposisi
nokturnal bisa berbeda-beda pada setiap wilayah geografis walau spesies yang
terlibatnya sama. Belum diketahui secara molekuler apakah pola oviposisi pada
calliphoridae berhubungan dengan ritme circadian atau tidak, sehingga
membutuhkan investigasi pada tingkat perilaku & molekuler untuk menentukan
apakah female blow flies dapat oviposisi pada malam hari. Calliphora
vicina (urban bluebottle blowfly) dikenal
sebagai lalat bangkai, panjangnya sekitar 10 mm dan berada pada area urban
Australia. Blowflies dapat dengan cepat membentuk koloni pada mayat manusia dan
merupakan insekta yang sangat berguna dalam memberikan estimasi minimum
post-mortem interval (mPMI). Ritme aktivitas siklik locomotornya telah banyak
diketahui tetapi ekspresi siklik dari gen circadian yaitu gen per & tim belum
terinvestgasi dan belum diketahui secara molekuler apakah pola oviposisi pada
calliphoridae berhubungan dengan ritme circadian. Studi tentang fenomena
tersebut bertujuan untuk mendeterminasi apakah
oviposisi pada C. vicina berkorelasi dengan ritme diel moleculer.
Penelitian ini
dilakukan dalam 2 bagian: (I) Perilaku oviposisi telur pada variasi
waktu 12:12 terang/gelap dipantau untuk menentukan ada tidaknya ritme, (II) Ekspresi gen per dan tim
pada ovarium dan system syaraf pusat
(SSP) untuk menentukan pola gen tersebut dan apakah ekspresinya berkorelasi
dengan waktu oviposisi. Spesimen C. vicina diambil dari halaman universitas
Deakin Victoria, Australia. Kemudian dilakukan studi perilaku pada sampel
meliputi Pupariasi, Eclosion (saat keluar dari pupa), pematangan ovarium, determinasi ada
tidaknya diel-rhytm melalui berbagai ketegori. Selanjutnya dilakukan sudi
ekspresi gen (per dan tim) dari setiap perlakuan dengan
mengisolasi RNA jaringan ovarium dan kepala dari sampel gravid non gravid. Hasil
menunjukkan bahwa mayoritas telur diletakan saat photophase/ kondisi terang
(78%) atau saat scotophase (kondisi gelap) yang bergantian dengan kondisi
terang (12%). Sedikit sekali telur yang diletakkan pada saat scotophase/gelap
(10%) hal ini membuktikan bahwa oviposisi C.
vicina terjadi saat siang hari, oviposisi yang dilakukan pada malam hari
disebabkan oleh adanya system yang aritmik pada betina. Hasil ini menunjukkan
bahwa jika C.vicina ditemukan telah berkoloni pada suatu mayat, maka
diperkirakan >90% peluang oviposisi terjadi saat siang hari. Tetapi jika C.
vicina dapat berkoloni di tubuh mayat pada malam hari, hal tersebut mungkin
terjadi karena adanya aritmik betina yang melakukan oviposisi saat scotophase
(kondisi gelap), walau kecil kemungkinannya. Oviposisi pada
C. vicina sesuai dengan internal diel rhythm yaitu siang hari (diurnal).
Pada jaringan ovarium non gravid, ekspresi yang terjadi merupakan siklus. Pola
yang sama juga terjadi pada otak. Sedangkan pada jaringan ovarium gravid bukan
merupakan siklus Siklus. Perbedaan tersebut mungkin terjadi kerena perbedaan
tipe jaringan antara ovarium gravid dan non gravid. Non siklik mRNA pada
jaringan gravid berasal dari oocyte yang telah matang dan mRNA tersebut menutupi
ekspresi mRNA non-germ-line yang menyebabkan siklus pada jaringan non gravid.
DAFTAR PUSTAKA
Petra Bochme, Jens
Amendt, R. Henry L. Disney. Richard Zehner.
2010. Molecular Identification of
carrio-breeding scuttle flies (Diptera: Phoridae) using COI barcodes. International Jounral of Legal Medicine. 124:
577-581.
Maite GilArriortua,
Marta I. Salona Bordas, Laura M. Caine´, Fa´tima Pinheiro, and Marian M. de
Pancorbo. Cytochrome b as a useful tool
for the identification of blowflies of forensic interest (Diptera,
Calliphoridae).
James Michael Clery,
(2001). Stability of Prostate Specific
Antigen (PSA, and Subsequent Y-STR typing, Lucilia (phaenicia) sericata
(Meigen) (Diptera: Calliphoriae) Maggots Reared From A Simulated
Postmortem Sexual Assault . Elsevier, Forensic science international 120
72-76.
Li, X.1, Cai, J.F.,
Guo, Y.D, Xiong, F, Zhang, L, Feng, H, Meng, F.M, Fu, Y, Li, J.B., and Chen,
Y.Q. MitochondriaL DNA and
STR Analyses for Human Dna From Maggots Crop Contents: A Forensic Entomology
Case From Central-Southern China. Tropical
Biomedicine 28(2): 333–338 (2011).
Aaron M. Tarone,
Kimberley C. Jennings, & David R. Foran. 2007. Aging Blow Fly Eggs Using Gene Expression: A Feasibility Study Journal of Forensic Science. 52 (6):
1350-1354.
Amendt,
J., Richards, CS., Campobasso, C.P., Zehner, R., Hall, M.J.R. 2011. Forensic
entomology: applications and limitations. Forensic
Sci Med Pathol 7:379–392
Caine,
L., Lima, G., Pontes, L., Abrantes, D., Pereira, M., and Pinheiro, M.F. 2006.
Species identification by cytochrome b gene: Casework samples. International
Congress Series,1288 : 145-147.
Farias,
I.P., Orti, G., Sampaio, I., Schneider, H., and Meyer, A. 2001. The Cytochrome
b Gene as a Phylogenetic Marker: The Limits of Resolution for Analyzing
Relationships Among Cichlid Fishes. Journal
of Molecular Evolution,53 :89-103.
GilArriortua,
M., Bordas, M.I.S., Caine, L.M., Pinheiro, F., and De Pancorbo, M.M. 2013.
Cytochrome b as a useful tool for the identification of blowflies of forensic
interest (Diptera, Calliphoridae). Forensic
Science International,228 :132–136. (Jurnal Utama).
Tarone,
A.M. and Foran, D.R. 2011. Gene Expression During Blow Fly Development:
Improving the Precision of Age Estimates in Forensic Entomology. Journal of
Forensic Science,56 : 112-122.