Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal namun yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus-virus ini selain dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan pada hati oleh karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Pertanda adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya nekrosis pada sel-sel hati.
Hepatitis kronik dibedakan dengan hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda peradangan hati dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Virus-virus hepatitis penting yang dapat menyebabkan hepatitis akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E (VHE) sedangkan virus hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus hepatitis B dan C.
Interferon adalah protein alami yang disintesis oleh sel-sel sistem imun tubuh sebagai respon terhadap adanya virus, bakteri, parasit, atau sel kanker. Ada tiga jenis interferon yang memiliki efek antivirus. Ketiganya adalah interferon alfa, beta dan gamma. Efek antivirus yang paling baik diberikan oleh interferon alfa. Interferon alfa bekerja hampir pada setiap tahapan replikasi virus dalam sel inang. Namun, seringkali proses pembentukan interferon alami dalam tubuh berjalan lambat, atau kalah cepat dibandingkan dengan replikasi virus. Oleh karena itu banyak peneliti bioteknologi yang berusaha mengembangkan interferon secara in vitro (di luar tubuh). Kedua hasil interferon mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam menjalankan fungsinya menghambat pembetukan virus dalam tubuh.
Sekarang ini penggunaan interferon dalam dunia kedokteran diharapkan dapat menurangi infeksi penyakit yang diakibatkan oleh virus. Interferon sudah pernah diujicobakan untuk virus influenza, dan mendapatkan hasil yang memuaskan.Sekarang perlu diuji coba pada virus VHB yang mengakibatkan penyakin hepatitis B pada manusia.
Rekayasa genetika untuk produksi interferon dilakukan dengan menyisipkan gen dari sel yang diserang virus ke dalam plasmid E.coli. Interferon adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel-sel yang diserang virus. Interferon dibentuk segera setelah terjadi infeksi dan prosesnya lebih cepat daripada pembentukan antibodi. Interferon tidak spesifik, tetapi efektif untuk melawan infeksi virus, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengobati penyakit kanker kulit, kerusakan pada sistem kekebalan, dan mengobati beberapa bentuk leukemia.
Lewat rekayasa genetika, interferon bisa diproduksi dan dicobakan mengatasi berbagai penyakit virus dari influensa, penolakan tubuh pada transplantasi, sampai kanker. Akhir Maret lalu, kantor berita Gamma Prancis, menyiarkan data baru tentang interferon hasil percobaan Prof. Michel Boiron, seorang hematolog kawakan dari rumah sakit Saint-Louis, Paris. Boiron berhasil mencobakan interferon alfa untuk mengatasi kanker darah leukemia tricholeucocyte sejenis leukemia yang jarang. Dari 35 kasus yang ditanganinya dalam percobaan, 34 menunjukkan hasil yang meyakinkan. Lewat suntikan-suntikan interferon alfa, tricholeucocyte bisa dipulihkan sampai jumlahnya normal. "Kita tinggal menunggu lima tahun lagi untuk memastikan apakah interferon alfa bisa disahkan sebagai penyembuh leukemia tricholeucocyte," ujar Boiron. Memang kesembuhan kanker ditentukan setelah "masa perjuangan lima tahun" atau Five Year Survival. Yang berhasil melalui masa itu bisa dikatakan sembuh. Boiron mengemukakan, bila kesembuhan ini sudah bisa dipastikan, maka dapat pula dikatakan bahwa inilah pertama kalinya kanker disembuhkan tanpa menyerang selsel yang sakit, melainkan dengan membangkitkan sistem pertahanan tubuh. Interferon memang bukan obat kanker seperti sitostatika yang menyerang langsung sel-sel kanker. Keadaan ini, menurut Boiron, menunjukkan bahwa percobaan interferon sudah memasuki percobaan gabungan: percobaan laboratorium dan klinis. Dari sini sudah mulai bisa direka dosis suntikan yang perlu diberikan. Walaupun interferon menurut khayalan Dan Barry adalah obat suntik, substansi itu seperti yang dikatakan Boiron adalah bagian pertahanan tubuh yang terdapat pada sel diproduksi sendiri oleh tubuh. Ketika pada awalnya menemukan, Alick Isaacs dan Jean Lindenmann menyebutkan interferon sebagai substansi yang mampu melindungi sel dari serangan berbagai virus.
Dalam penelitian-penelitian selanjutnya, diketahui, interferon adalah sejenis protein, atau lebih tepatnya memproduksi protein. Protein inilah yang mempunyai sifat antivirus. Sifat antivirus ini ternyata sangat khas. Tidak hanya memblokir pembelahan sel yang terserang virus, tapi juga membangun sistem pertahanan tubuh. Ketika kekhasan ini diteliti lebih jauh, hasilnya menghidangkan sebuah kenyataan yang sangat menakjubkan. Interferon ternyata lebih sesuai dikatakan "kurir" yang dikirimkan sel-sel yang sakit kepada sel-sel sehat untuk memberitakan adanya serangan virus, dan "menyarankan" agar pertahanan dibangun sedini mungkin untuk menghadapi serangan. Misalnya sebuah sel diserang virus. Para penyerang - yang berupa virus-virus itu segera menduduki inti sel dan segera pula menjadikannya "pabrik" reproduksi untuk memperbanyak diri. Inti sel yang sudah diduduki ini akan berbahaya bagi sel-sel lain karena menembakkan virus-virus ke sel-sel lainnya. Begitulah penyakit merambat. Akan tetapi, inti sel yang terserang itu ternyata punya juga pertahanan rahasia. Begitu diduduki, inti sel ini memproduksi interferon, dan merambatkannya ke sel-sel lain - di sekitar sel yang terserang. Sel-sel tetangga yang kedatangan interferon segera memproduksi sejenis protein dan siap menanti serangan. Ketika serangan datang, protein yang disiapkan menggagalkan pendudukan virus dengan jalan memblokir pembelahan inti sel, dan bila perlu memproduksi lagi interferon untuk dikirimkan ke sel tetangga yang lain. Sistem pertahanan interferon serupa itu sangat menarik para ilmuwan. Masalahnya karena substansi alamiah, yang diproduksi tubuh ini, selain ampuh bagi penyembuhan juga tidak menimbulkan dampak samping. Karena itu, menjelang tahun 1980-an, para peneliti memburu kemungkinan memproduksi interferon - mula-mula untuk penelitian, kalau bisa tentunya sebagai obat.
Di laboratorium, interferon memang bisa dibuat. Tapi, selain rumit, juga mahal. Dari ekstraksi 1 ons darah putih bisa didapat hanya sepersejuta ons interferon - biayanya US$ 1.500 (Rp 1,5 juta lebih). Namun, usaha memproduksi inferferon tak berhenti sampai di situ. Dengan bantuan rekayasa genetika, lewat laboratorium yang semacam pabrik, interferon bisa diproduksi lebih banyak, walaupun dengan biaya yang sama mahalnya. Caranya menggunakan teknologi mikro yang sangat menakjubkan, dengan bantuan sejenis bakteri dinamakan bakteri E. Coli - yang memiliki sebuah khromoson, dan beberapa plasma sel. Plasma sel bakteri dilepaskan dari selnya.
Sementara itu, materi genetika pada DNA dalam sel yang memerintahkan pembuatan interferon dilepaskan pula dari sel-sel darah putih. Kedua benda mikro ini, plasma sel dan "cikal interferon", kemudian disambungkan. Setelah penyambungan, gabungan gen ini dipasangkan kembali ke bakteri bakteri E. Coli itulah. Produksi pun berlangsung: bakteri membelah diri (memperbanyak) dan koloni bakteri yang terjadi punmengandung interferon. Inilah bahan obat suntik - yang harganya sekitar 250 juta rupiah sebotol. Hasil penelitian menunjukkan, interferon hasil laboratorium ternyata lebih murni daripada interferon yang dihasilkan oleh tubuh sendiri - struktur molekulnya agak berbeda. Akibatnya, interferon bikinan ini diperhitungkan lebih potensial. Di sini terletak jawaban, mengapa interferon tubuh tidak selalu bisa mengatasi penyakit. Interferon bikinan diharapkan bisa. Mengatasi kanker, misalnya. Dan, Prof. Michel Boiron mulai menemukan tanda-tanda itu.
Beberapa agen saat ini disetujui untuk pengobatan kronis hepatitis B: interferon (IFN) alfa-2b, pegylated interferon (PEG IFN) alfa-2a, lamivudine, adefovir, entecavir, dan telbivudine. IFN efektif pada sebagian kecil .pasien dan memiliki frekuensi efek samping yang batasnya tolerabilitas percobaan terkontrol telah menunjukkan kemanjuran PEG IFN dalam mengobati hepatitis B kronis. Kemanjuran lamivudine dibatasi oleh munculnya resistan terhadap obat hepatitis B (HBV) mutan, membatasi kegunaannya sebagai terapi jangka panjang. Adefovir ditoleransi dan berhubungan dengan rendahnya perlawanan, namun efek antivirus tidak optimal . Entecavir memiliki efek antivirus tinggi dan baik , namun jangka panjang efektivitas dan profil resistensi belum ditentukan. Lamivudine, adefovir, entecavir dan memiliki keunggulan pemberian oral dan profil keamanan yang sangat baik, tetapi mereka menginduksi kesinambungan dipertahankan setelah penarikan respon terapi pada hanya minoritas dari pasien, sehingga pada kebanyakan pasien pengobatan perlu diberikan tanpa batas. IFNs memiliki dua mekanisme aksi: efek antivirus langsung dicapai dihambat sintesis DNA virus dan dengan mengaktifkan enzim antivirus, dan mekanisme kedua yang meningkatkan respon imun selular terhadap hepatosit yang terinfeksi dengan HBV. PEG IFN, diberikan selama 48 minggu, mencapai tingkat respons keseluruhan berkelanjutan sekitar 30%.
Aktivitas yang terjadi secara alami interferon alfa yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh. Interferon alfa bekerja di tiga cara: ia memiliki efek meningkatkan kekebalan tubuh untuk merangsang sistem kekebalan tubuh terhadap virus, ia memiliki antivirus langsung dengan menghentikan virus dari membagi, mereproduksi dan melindungi sel yang tidak terinfeksi dari terinfeksi.
Pengobatan interferon alfa telah digunakan untuk mengobati beberapa jenis infeksi seperti hepatitis B kronis, hepatitis C kronis, kutil kelamin, leukemia, sarkoma Kaposi terkait AIDS dan melanoma. Sejak tahun 1991, FDA (Food and Drug Administration) telah menyetujui beberapa jenis interferon untuk pengobatan hepatitis B kronis, hepatitis C kronis ini meliputi interferon alfa-2b (Intron A), interferon alfa-2a (Roferon), konsensus interferon (Infergen), dan peginterferon. Saat ini, peginterferon dalam kombinasi dengan ribavirin adalah tulang punggung strategi antivirus yang digunakan untuk mengobati hepatitis C kronis.
No comments:
Post a Comment