4.8.12

Bamboo, What's important?

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi sumber daya alam yang sangat besar. Salah satu sumber daya alam yang telah dikenal dan dibudidayakan secara luas di Indonesia adalah bambu. Di Indonesia terdapat sekitar 125 jenis bambu termasuk yang masih tumbuh liar dan belum banyak dimanfaatkan. Namun, dari  jenis-jenis bambu yang ada baru sekitar 20 jenis saja yang telah dimanfaatkan dan dibudidayakan oleh masyarakat. Jenis-jenis tersebut antara lain: bambu apus, bambu ater/apel, bambu andong, bambu betung, bambu kuning, bambu hitam/wulung, bambu talang, bambu tutul, bambu cendani, bambu cangkoreng, bambu perling, bambu tamiang, bambu loleba, bambu batu, bambu belangke, bambu sian, bambu jepang, bambu gendang, bambu bali, dan bambu pagar (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Bambu banyak menyebar di daerah tropis, subtropis Asia. Dari sekitar  1.000 jenis  bambu dalam 80 genera, sekitar 200 jenis dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield and Widjaja, 1995). Di Indonesia, tanaman bambu tumbuh baik di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 3000 m  dari permukaan laut dan pada umumnya ditemukan di tempat-tempat terbuka dan daerahnya bebas dari genangan air (Krisdianto, et al., 2000).

Sistematika bambu (Bambusa sp.)  sebagai berikut:   
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas : Monokotiledoneae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Sub Famili : Bambusoideae
Genus : Bambusa
Spesies : Bambusa sp.

Bambu tumbuh merumpun, memiliki batang yang bulat, berlubang dan beruas-ruas, percabangannya kompleks, setiap daun bertangkai. Diameter bambu sangat tergantung pada jenis dan tempat tumbuhnya dengan variasi antara 0,5-20 cm. Besar diameter batang dewasa dapat diketahui dari besarnya rebung bambu (Dransfield and Widjaja, 1995).

Tempat tumbuh yang disukai bambu adalah lahan yang terbuka dan terkena sinar matahari langsung. Suhu optimal untuk pertumbuhan bambu 8,8-36 oC.  Bambu lebih toleran dengan iklim, di Indonesia bambu dapat tumbuh pada iklim tipe A, B, C, D dan E.  Walaupun demikian semakin basah tipe iklimnya pertumbuhan bambu semakin baik, sebab bambu membutuhkan banyak air. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan bambu adalah minimal 1.020 mm/tahun (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Pembibitan tanaman bambu dapat dilakukan dengan beberapa cara perbanyakan yaitu:
a)    Perbanyakan dengan biji
Perbanyakan dengan biji jarang dilakukan karena pembiakan dengan cara tersebut menyebabkan pertumbuhan yang lebat dan untuk mencapai pertumbuhan normal diperlukan waktu lebih dari 10 tahun. Bambu akan berbunga dan menghasilkan biji setelah berumur 20-60 tahun, setelah itu mati. Penyemaian biji dilakukan pada musim hujan. Biji tersebut dikecambahkan terlebih dahulu dalam media kapas atau sabut kelapa yang telah dibasahi. Satu minggu kemudian biji tersebut kemudian telah berkecambah dan selanjutnya dipindahkan ke dalam polybag yang berisi tanah. Tempat persemaian kemudian diberi naungan. Setelah anakan bambu tersebut telah mencapai umur satu tahun, anakan tersebut telah mencapai 75 cm dan siap dipindahkan ke dalam naungan.

b)    Perbanyakan dengan stek
Perbanyakan bambu dengan cara stek dilakukan dengan menggunakan batang dan cabang bambu yang mepunyai buku yang merupakan sumber pertunasan dan akar. Cara pembibitan perbanyakan bambu dengan cara stek batang berbeda dengan cara stek cabang. Pada persemaian dengan stek batang dilakukan dipersemaian  dengan membuatkan guludan sedang stek cabang dapat dilakukan secara langsung dalam kantung plastik. Batang bibit untuk stek batang dipilih yang berumur 2 tahun. Bagian yang digunakan adalah bagian bawah sampai tengah batang yang mepunyai tunas atau mata tunas. Setelah itu batang dipotong 10 cm di atas buku dan 10 cm di bawah buku sehingga panjang seluruhnya 20 cm, selanjutnya stek disemai dengan cara ditancapkan pada guludan sampai mata tunas tertutup tanah. Bahan bibit untuk stek cabang dipilih yang berumur 3 tahun. Cabang dipotong mulai pada pangkal cabang  yang menempel pada buku cabang, kemudian ujung cabang dipotong sehingga stek cabang diperoleh dengan panjang 75 cm (3-4 ruas cabang) kemudian stek ditancapkan pada kantung plastik yang telah disediakan.

Keunggulan perbanyakan bambu dengan cara stek batang dan stek cabang yaitu sumber bibit yang didapatkan lebih banyak, bibit dapat diperoleh dengan mudah dan murah, tidak merusak rumpun bambu yang ditinggal, waktu pengambilan lebih cepat, kebutuhan bibit untuk areal yang lebih luas lebih memungkinkan dan pembentukan rumpun bambu lebih cepat. Sedangkan kekurangannya adalah daya tumbuh lebih rendah daripada rimpang, kurang tahan terhadap kekeringan dan terbatas untuk jenis-jenis tertentu.

c)    Perbanyakan dengan rhizome/rimpang
Perbanyakan bambu dengan cara rimpang adalah teknik perbanyakan bambu dengan menggunakan akar-akar bambu yang memberikan pertumbuhan tunas sebagai calon batang muda. Perbanyakan bambu dengan teknik seperti ini umum dilakukan oleh masyarakat dan tidak membutuhkan  persemaian kecuali untuk jenis-jenis bambu yang mempunyai ukuran batang relatif lebih kecil. Bahan bibit untuk stek rimpang dipilih dari induk yang berumur sekitar dua tahun.

d)    Perbanyakan dengan kultur jaringan
Perbanyakan bambu dengan kultur jaringan telah dilakukan oleh Puslitbang Bioteknologi LIPI. Dengan teknik perbanyakan seperti ini dapat diperoleh lebih dari 50 tunas bambu dalam satu botol kecil dalam waktu 2 bulan. Perbanyakan dengan metode sangat menjanjikan untuk diterapkan ke depan terutama untuk budidaya bambu skala besar.

Kegiatan pemeliharaan bambu meliputi: pemangkasan, penyiangan dan pembumbunan serta pemupukan. Pemangkasan dilakukan pada awal musim penghujan dan dilakukan dengan cara memotong cabang-cabang bawah setinggi 2-3 cm. Penyiangan pada bambu dilakukan dengan cara mencabut rumput dan pengganggu di sekitar bambu. Pembumbunan dilakukan untuk mencegah mata tunas tidak muncul pada permukaan tanah, sebab jika muncul maka tunas tersebut akan kering dan mati. Selain itu, bertujuan agar rebung dapat tumbuh besar dan tidak berongga.  Pembumbunan dilakukan dengan cara menaikkan tanah di sekitar tanaman dan diberi mulsa serta dilakukan penggemburan tanah disekitar tanaman dan dilakukan pada awal dan akhir musim menggunakan urea, TSP dan KCl.

Pemanenan bambu dapat dilakukan dengan metode tebang habis dan tebang pilih. Pada metode tebang habis, semua batang bambu ditebang baik yang tua maupun yang muda. Kekurangan dari metode ini adalah kualitas batang bambu yang diperoleh bercampur antara bambu yang tua dan yang muda. Selain itu, metode ini juga menimbulkan pengaruh terhadap sistem perebungan bambu, sehingga kelangsungan tanaman bambu terganggu (Kridianto, et al., 2000). Oleh karena itu, pemanenan bambu dengan sistem tebang pilih merupakan pilihan yang tepat dalam budidaya bambu.

Pemanenan bambu ditentukan oleh umur, musim dan bagian yang akan dipanen (batang atau rebung). Pemanenan bambu untuk produksi batang dilakukan selama musim kemarau atau pada awal musim kemarau untuk menghindari serangan serangga penggerek. Untuk keperluan produksi pulp dan barang kerajinan tangan, umur panen biasa lebih cepat yaitu sekitar 1-2 tahun. Untuk keperluan bahan bangunan dan furniture sebaikknya batang bambu dipanen pada umur sekitar 3 tahun. Pemanenan bambu cukup sederhana yaitu dengan cara menabang bambu yang telah dewasa dengan menggunakan parang atau dengan kapak dengan sistem tebang pilih sehingga stok bambu di kebun dapat dipanen sepanjang tahun.

POTENSI

Bambu merupakan komoditas lokal yang telah dikenal oleh masyarakat sejak dulu. Bambu merupakan tanaman yang mudah dijumpai di Indonesia terutama di Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sumatera. Selain mudah dibudidayakan, juga memiliki jumlah produksi yang tinggi yaitu sekitar 33,4-109,2 ton/ha/tahun (Dransfield and Widjaja, 1995) dengan masa panen yang cukup singkat yaitu berkisar 1-3 tahun (Shultoni, 1994) serta dapat dipanen sepanjang tahun sehingga kontinuitas bahan baku ini selalu terjaga.

Indonesia memiliki luas areal hutan bambu yang sangat besar (Gambar 1). Luas hutan bambu tersebar di berbagai propinsi di Indonesia dengan luas total sekitar   164.312,36  ha (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2001).  Namun ini belum termasuk dalam tanaman pada kebun-kebun masyarakat. Salah satu sentra produsen bambu di Indonesia adalah Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan tegakan bambu tersebar pada lahan milik petani secara monokultur baik berupa areal kebun khusus. Jenis bambu yang umum dibudidayakan di Sulawesi Selatan terdiri atas 4 jenis, yaitu Gigantochloa ater, Schizostachyum brachyladum, Bambusa vulgaris, dan Dendrocalamus asper dengan potensi sebesar 8.975 batang/ha (Muin, et al., 2006).



PEMANFAATAN SAAT INI

Tanaman bambu merupakan tanaman yang serba guna, mulai dari akarnya sampai daunnya dapat dimanfaatkan.  Batangnya yang kuat, keras, ringan, ukurannya beragan dan mudah dikerjakan membuat bambu banyak digunakan sebagai bahan bangunan, pagar, jembatan, alat angkutan/rakit, pipa saluran air, atap rumah alat music dan peralatan rumah tangga. Selain itu, saat ini, bambu juga telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan pembuat pulp dan kertas, arang, sumpit (chopstick), plywood/plybambu, furniture, barang kerajinan tangan/cineramata yang merupakan komoditi eksport. Tunas mudahnya (rebung) dapat dijadikan bahan makanan dan telah dimanfaatkan sebagai makanan kaleng, daunnya dapat dijadikan sebagai pembungkus makanan. Akarnya yang kuat dapat dijadikan sebagai bahan kerajinan dan bahan pertanian. Selain itu, tanaman bambu dapat dijadikan sebagai tanaman konservasi karena mempunyai daya dukung terhadap ligkungan yang tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian, bambu memiliki kadar selulosa yang berkisar antara 42,4% - 53,6%, kadar lignin berkisar antara 19,8% - 26,6% sedangkan kadar pentosan 1,24% -3,77%,  kadar abu    1,24% - 3,77%, kadar silika 0,10% - 1,28%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air dingin) 4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5,3% - 11,8% dan kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzena) 0,9% - 6,9%.  Hasil analisis kimia beberapa jenis bambu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Bambu mengandung holoselulosa (sesulosa dan hemiselulosa) berkisar antara 73,32-83,80% (Krisdianto, et al., 2000). Dengan kandungan holoselulosa yang cukup tinggi maka bambu sangat cocok untuk dijadikan bahan kertas dan rayon, bahkan China sangat mengandalkan bahan bambu sebagai bahan baku industri kertasnya. Selain itu, dengan kandungan holoselulosa yang sangat  tinggi membuat bambu menjadi bahan berlignoselulosa yang mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai bahan baku produksi bioetanol.
 
 

Bambu merupakan jenis hasil bukan kayu yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai penghasil bioenergi seperti briket arang dan bioetanol. Selama ini, produksi bioetanol diarahkan pada bahan berpati dan bergula seperti gula tebu, ubi kayu dan jagung. Meskipun sebenarnya proses produksi bioetanol dengan menggunakan bahan tersebut cukup sederhana dan ekonomis. Akan tetapi, statusnya sebagai bahan pangan akan mengakibatkan terjadinya kompetisi pemanfaatan produk sebagai bahan pangan maupun energi (Saddler, 1996). Hal ini tidak hanya berimplikasi pada sektor produksi bahan pangan dan akan dapat menimbulkan permasalahan baru akibat persaingan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat tetapi juga dalam hal pemanfaatan lahan. Fakta ini mendorong perlunya pengalihan penggunaan bahan baku non pangan seperti kayu dan bambu sebagai bahan baku produksi bioetanol.

Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil  bioetanol telah diteliti dan dikembangkan serta mulai dikomersilkan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa bahan berlignoselulosa yang telah diteliti sebagai penghasil bioetanol adalah bagas, jerami dan  kayu (Ballesteros, et al., 2004, Alriksson, et al., 2009). Salah satu Industri bioetanol dari bahan berlignoselulosa adalah perusahaan Iogen di Ottawa, Kanada dengan kapasitas produksi sekitar 40 ton per hari (IEA Bioenergy, 2004). Namun pengembangan bahan berlignoselulosa ini masih terkendala pada proses pengolahannya yang lebih rumit. Walaupun pada dasarnya secara ekonomis harga bahan berlignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan yang tidak dapat dikembangkan untuk kepentingan pertanian namun biaya produksinya relatif tinggi dibandingkan bahan.

Pemanfaatan bahan berlignoselulosa sebagai penghasil  bioetanol memerlukan proses pendahuluan berupa penghilangan ekstraktif, delignifikasi, dan proses hidrolisisnya lebih sulit dibandingkan bahan berpati dan gula. Oleh karena itu walaupun pada dasarnya harga bahan berlignoselulosa lebih murah dan lebih mudah diperoleh serta dapat dikembangkan pada lahan tidak produktif, namun biaya produksinya relatif lebih tinggi (Balat, et al., 2008). Oleh karena itu tantangan utama pemanfaatan bahan berlignoselulosa sabagai bahan baku bioetanol adalah penemuan metode yang efesien dalam konversi menjadi bioetanol  melalui optimalisasi teknologi proses produksi terutama pada proses pretreatment, fraksinasi, hidrolisis (sakarifikasi), fermentasi, dan destilasi (Samejima, 2008).

Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa proses konversi secara biologi lebih efektif dibandingkan konversi secara kimia. Metode biokonversi yang telah terbukti paling efisien adalah metode yang menggunakan enzim selulase. Tantangan teknologi dalam biokonversi tersebut saat ini adalah produktivitasnya yang masih rendah akibat masih kurang optimalnya proses hidrolisis dan fermentasi glukosa menjadi bioetanol. Walaupun rendemen glukosa dari hasil hidrolisis telah berhasil ditingkatkan sampai mencapai 70% dan rendemen total etanol dari bahan berlignoselulosa telah mencapai 21% (Mtui and Nakamura, 2005), namun hasil ini masih jauh dari yang diharapkan mengingat kandungan selulosa dari kayu dan rumput-rumputan seperti bambu yang dapat dikonversi menjadi bioetanol berkisar 40-50%.

Produktivitas biotanol dari bahan berlignoselulosa sangat tergantung pada beberapa faktor yaitu metode pretreatment seperti jenis bahan kimia, jenis aditif, suhu dan lama pemanasan, metode hidrolisis terutama kondisi subtrat dan konsentrasi selulase, suhu dan pH media, penambahan enzim β-glukosidase dan xylanase dan feruloyl esterase  serta konsentrasi dan jenis mikroba dan fermentasi (Wyman, 1996). Rendahnya rendemen etanol dari bahan berlignoselulosa  ini yang disebabkan oleh adanya zat penghambat (inhibitor) sebagai hasil hasil samping dari proses hidrolisis bahan berlignoselulosa tersebut seperti asam asetat, furan aldehid, vanillin, dan fenol yang dapat menghambat kerja mikroba fermentasi. Selain itu adanya interaksi antara enzim dan subtrat sangat mempengaruhi proses kerja enzim dalam proses hidrolisis dan fermentasi (Li, et al., 2007).

Beberapa metode yang digunakan untuk mengurangi biaya produksi pada proses biokonversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol adalah dengan melakukan proses sakarifikasi dan fermentasi dalam waktu yang bersamaan. Metode ini dikenal dengan nama Simultaneous Sccharification and Fermentation (SSF). Metode SSF telah berhasil diterapkan pada proses produksi bioetanol dari kayu. Penerapan metode SSF ini telah terbukti lebih ekonomis dibandingkan dengan metode Separate Hydrolysis and Fermentation (SHF) (Stenberg, et al., 1999).   Produksi bioetanol dari bahan berlignoselulosa dengan metode SSF sangat tergantung pada metode pretreatment, hidrolisis serta kondisi media fermentasi yang digunakan (Sun and Cheng, 2002; Hagerdal, et al., 2006). Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa  pretreatment dengan pemanasan dapat meningkatkan rendemen sekitar 20% (Ballesteros, et al., 2004). Selain itu, pretreatment lain yang juga efektif adalah pemberian pemanasan dan bahan kimia seperti SO2, H2SO4, HNO3, HCl, NaOH, pemasanan dengan pemberian aditif seperti pemberian Ca(OH)2, bovine serum albumin (BSA), 1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride  (Stenberg et al., 1999).

Beberapa peneliti juga mencoba mengoptimalkan proses hidrolisisnya yaitu dengan merekayasa kondisi subtrat dan konsentrasi selulase, pengaturan suhu dan pH dan penambahan β-glukosidase, pemberian xylanase  dan feruloyl esterase  serta penggunaan enzim yang dihasilkan dari jamur seperti Trichoderma reesei dan Aspergillus niger (Piccolo and Bezzo, 2008; Balat, et al., 2008; Alriksson, et al., 2009). Selain itu, pengoptimalisasian proses fermentasi dapat dilakukan dengan cara menggunakan mikroba yang telah terbukti lebih efektif dalam proses fermentasi glukosa dari bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol seperti Saccharomyces cereviciae, Zimomonas mobilis, Escherichia coli, Corynebacterium glutamicum, serta penggunaan strain mikroba hasil rekaya bioetknologi seperti Kluyveromyces marxianus CECT 10875,  Escherichia coli KO11 (Okuda, et al., 2007; Sukumaran, et al., 2009),  serta merekaya tanaman penghasil bioetanol sehingga mudah dihidrolisis menjadi bioetanol (Ayako, et al., 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Alriksson, B., S. H. Rose, W. H. V. Zyl, A. Sjode, N. O. Nilvebrant and L. Jonsson. 2009. Cellulase Production from Spent Lignocellulose Hydrolysates with Recombinant Aspergillus niger. American Society for Microbiology, USA.

Ayako, E., N. Toshihide, A. Akira, T. Ken, S. Jun. 2008. Genome-wide Screening of the Genes Required for Tolerance to Vanillin, which is a Potential Inhibitor of Bioetanol Fermentation in Saccharomyces cerevisiae. Biotechnology for Biofuels Journal. 1 (1): 1-3.

Balat, M., H. Balat and C. Oz. 2008. Progress in Bioetanol Processing. Progress in Energy and Combustion Science Journal. 34 (5): 551-573.

Ballesteros, M., J. M. Oliva, M. J. Negro, P. Manzanares, and I. Ballesteros. 2004. Ethanol from Lignocellulosic Materials by a Simultaneous Saccharification and Fermentation Process (SFS) with Kluyveromyces marxianus CECT 10875.  Process Biochemistry Journal. 39: 1843-1848.

Bruce A. and W. Palfreyman. 1998. Forest Products Biotechnology. T. J. International Ltd, Salisbury, UK.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan.  1999.  Panduan Kehutanan Indonesia.  Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2001. Rencana Pengembangan Industri Anyaman Bambu di Indonesia dengan Sistem Cluster. Direktorat Jenderal dan Industri dan Dagang Kecil Menengah, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Republik Indonesia.

Dransfield, S., and E.A. Widjaja. 1995. Plant Resources of South East Asia (PROSEA) No. 7: Bamboos. Backhuys Publisher Leiden.

Hambali, E., S. Mujdalipah, A. H. Tambunan, A. W. Pattiwiri dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Hagerdal, B. H., M. Galbe, M.F. G. Grauslund,  G. Lidén and G. Zacchi. 2006. Bio-ethanol: The Fuel of Tomorrow from the Residues of Today. Trends in Biotechnology Journal.24:  549-556.

IEA Bioenergy. 2004. Biofuels for Transport. IEA Bioenergy, USA.

Krisdianto, G. Sumarni, dan A. Ismanto. 2000. Sari Hasil Penelitian Bambu. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Li,  A., B. A. Ladislao and M. Khraisheh. 2007. Bioconversion of Municipal Solid Waste to Glucose for Bioetanol Production. Bioprocess and Biosystems Engineering Journal. 30 (3): 189-196.

Mtui, G. and Y. Nakamura. 2005. Bioconversion of Lignocellulosic Waste from Selected Dumping Sites in Dar es Salaam, Tanzania. Biodegradation Journal. 16 (6): 493-499.

Muin, M., Suhasman, N.P. Oka, B. Putranto, Baharuddin, dan S. Millang, 2006. Pengembangan Potensi dan Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Baku Konstruksi dan Industri di Sulawesi Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan.

Okuda, N., K. Ninomiya, M. Takao, Y. Katakura and S. Shioya. 2007. Microaeration Enhances Productivity of Bioetanol from Hydrolysate of Waste House Wood using Ethanologenic Escherichia coli KO11. Bioscience and Bioengineering Journal. 103 (4): 350-357.

Pearce, F. 2002. Pemanasan Global: Panduan Bagi Pemula Tentang Perubahan Iklim Bumi. Alih Bahasa: W Mangunwardoyo.  PT Gelora Aksara, Jakarta.
Piccolo, C. and F. Bezzo. 2008. A Techno-Economic Comparison Between Two Technologies for Bioetanol Production from Lignocelluloses. Biomass and Bioenergy Journal. 33 (3): 478-491.

Prihandana, R., K. Noerwijan, P. G. Adinurani, D. Setyaningsih, S. Setiadi, dan   R. Hendroko. 2007. Bioetanol Ubi Kayu Bahan: Bakar Masa Depan. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Saddler, J. N. 1993. Bioconversion of Forest and Agricultural Plant Residues. C.A.B. International, United Kingdom.
Samejima, M. 2008. Scenario of Technical Innovation for Production of Ethanol as Automobile Fuel from Cellulosic Biomass in Japan. In Proceedings. Iternational Association of Wood Products Societies. Harbin, China.

Stenberg, K., M. Bollok., K. Reczey, M. Galbe, and G. Zacchi. 1999. Effect of Substrate and Cellulase Concentration on Simultaneous Saccharification and Fermentation of Steam-Pretreated Softwood for Ethanol Production. Journal of Biotechnology and Bioengineering. 68 (2): 204-210.

Sukumaran, R. K., R.R. Singhania, G.M. Mathew and A.Pandey. 2009. Cellulase Production using Biomass Feed Stock and its Application in Lignocellulose Saccharification for Bioetanol Production. Renewable Energy Journal. 34 (2): 421-424.

Sun Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production: A Review. Bioresource Technology Journal. 83 (1): 1-11.

Tim Nasional. Bahan Bakar Nabati. 2008. Bahan Bakar Alternatif dari Tumbuhan sebagai Pengganti Minyak Bumi  dan Gas. Penebar Swadaya, Jakarta.

Wyman, C. E. 1996. Handbook on Bioetanol: Production and Utilization.   Taylor & Francis, Ltd., Washinton, United States of America.

www.dephut.go.id [27 Maret 2007]


No comments: